Makan Siang Rp. 7.500,00 dan IQ 80-an
Makan Siang Rp. 7.500,00 dan IQ 80-an
Rencana program bagian dari kampanye pilpres lalu, sudah mulai ada perubahan yang cukup signifikan. Kala pada awalnya harga lima belas ribu rupiah, berganti menjadi tujuh ribu lima ratus rupiah. Sebenarnya sejak mendengar bahan kampanye ini cukup heran. Mau apa dengan gagasan ini?
Faktanya, berita kekurangan gizi atau kelaparan hampir tidak terdengar, kecuali kasus per kasus, bukan sebuah kejadian yang cukup masif. Beberapa saat ini ada kasus stunting, toh sedang berjalan untuk menangani hal tersebut. Kejadian di lapangan malah sering menjadi ironi, ketika standar stunting adalah kecil badannya, padahal anaknya lincah dan pintar dalam berkomunikasi. Hal ini bukan hanya satu dua kasus, banyak menjumpai hal demikian. Toh ya tidak apa-apa, wong negara memberijan gizi atau nutrisi bagi anak-anaknya.
Jauh lebih penting lho, bukan sekadar gizi atau makanan yang menunjang untuk nutrisi otak, namun sistem pendidikan, budaya, dan juga hidup bersama. Yakin dari mana intelektual bangsa ini memang serendah itu?
Lihat saja emosionalnya anak negeri ini, kadang senggol bacok. Intelektual membantu orang untuk bisalebih tenang, sabar, dan mampu mengontrol emosi. Pun dengan eforia jika sedang senang. Sering lupa daratan. Cek bagaimana ketika idola mereka atau agama mereka disenggol, ngamuk.
Fakta yang lain, berkaitan dengan aktivitas membaca. Laporan dunia internasional menyebutkan, minat baca orang Indonesia sangat lemah. Mau cerdas dari mana ketika tidak ada asupan ilmu pengetahuan di sana.
Gumunan, falsafah Jawa sering mengatakan, aja gumunan, aja kagetan, lan aja dumeh, jangan mudah terheran-heran, jangan mudah terkejut, dan akhirnya jangan sok. Nasihat bijak, namun apa yang ada di negeri ini? Mudah sekali gumun, terkagum-kagum dengan hal yang berbeda. Dulu begitu memuja Barat, kini Arab, sehingga mudah dikibulin. Hal ini berkaitan dengan kemampuan, kecerdasan yang membentuk otonomi. Pribadi yang merdeka, tidak mudah gumun.
Lihat mobil mewah saja heran, trus foto-foto dan dipamerin di media sosial. Padahal apanya yang membuat mereka meningkat? Gumun yang bernuansa negatif tentu saja. Jika berkaitan dengan hal baik, mengapa tidak? Misalnya gumun atas penemuan terbaru, modern, teknologi, itu bagus. Namun kan tidak.
Mudah mencela. Sering pencela ini tidak berbuat apa-apa. Dalam dunia tulis menulis juga sering terjadi. Bagaimana orang yang berkomentar panjang kali lebar, ternyata belum sama sekali membuat artikel atau menulis. Sebenarnya miris, peri bahasa tong kosong nyaring bunyinya itu nyata.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan