Makasih Holywings

Menarik apa yang terjadi pada kasus Holywings, belum sempat menjadi riuh rendah apalagi demo berjilid-jilid, keknya enggak ada, wong sepi-sepi saja. Polisi bergerak cepat dengan menetapkan tersangka, enam orang langsung. Luar biasa.

Beberapa waktu sebelumnya, Roy Suryo “melakukan” hal yang identik, dengan dugaan penistaan agama, tokoh agama, dan malah ada juga menggunakan wajah presiden. Proses hukum jalan di tempat.    Jauh berbeda dengan apa yang dilakukan oleh para pegawai cafe ini.

Panasnya pembicaraan, laporan, dan tuntutan mengenai promo yang menggunakan kata atau nama Muhamad dan Maria dengan mendapatkan minuman keras gratis tiap Kamis. Ada beberapa hal yang layak dicermati.

Pertama, nama Muhamad itu sangat familiar di Indonesia. Ada pastor, orang Katolik juga memakai nama Muhamad. Ini faktual. Apakah mereka juga dilarang minuman keras?

Kedua, jika tersinggung nama saleh, suci, agung, dan besar, mengapa diam ketika pengguna nama Muhamad melakukan kejahatan, kriminal, korup, pemerkosa? Promo di mana jahatnya?

Ketiga, reaksi polisi yang berbeda sikap dan kecepatan ini malah membuat makin aneh, apakah karena dukungan dan ketakutan massal sehingga gerak cepat? Pada sisi lain kalau kelompok kecil dan tidak senggol bacok diam saja.

Mana sih geraknya untuk Abdul Somad, Yahya Waloni, Rizieg Shihab, dan banyak akun medsos yang mengaku ulama namun lebih banyak bicara politik dan menyerang agama lain. Ke mana    kecepatan polisi atau malah nyali polisi?

Terima kasih Holywings, dengan kisahmu membuat kasus Roy Suryo tidak akan dilupakan polisi apalagi netizen. Yakin banget tanpa kasus ini, ciutan Roh Suryo akan dipetieskan oleh polisi, karena publik diam saja, tidak akan ada ingatan apalagi tekanan untuk membuat Roy Suryo diseret ke pengadilan.

Kedewasaan beragama dan beriman makin tampak dan jelas. Agama gede, agung, dan besar itu tidak soal jumlah, namun bagaimana pribadi-pribadi yang ada di sana, adem, tenang, rendah hati, dan tidak arogan.

Pengampunan, mengerti, dan mikir panjang menjadi bagian utuh atas iman, bukan malah meradang, arogan, ngamukan, dan dikit-dikit ngambeg, demo, dan ternistakan. Miris melihat cara beragama yang sangat egois negeri ini.

Padahal, kasih, cinta, lemah lembut, dan damai itu esensi beragama bukan sebaliknya. Cara beragama yang memaksakan kehendak layak direnungkan, apakah benar beragama, atau nafsu demi terlihat saleh, religius, dan bertakwa?

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply