Program Makan Siang Gratis dan Sega Miring

Program Makan Siang Gratis dan Sega Miring

Mendengar bahwa program makan siang gratis pagu anggarannya dijadikan separonya dari Rp. 15.000 menjadi Rp. 7.500,00 per porsi jadi kaget dan miris. Bahan kampanye yang belum dilaksanakan, namun malah sudah berganti harga yang begitu signifikan.  Separo dari harga yang sudah pernah dikatakan.

Harga nasi lengkap karena judulnya adalah makan siang sehat, harganya apa ya cukup. Bandingkan, ketika di kampung, acara nyadran di makam, ada sebuah hukum tak tertulis dengan menu makan  yang dibawa adalah sega miring, nasi dengan lauk mie goreng, kering tempe tahu, dan telor separo atau telor dadar yang diiris tipis-tipis, yang bisa jadi satu butir menjadi dua atau tiga porsi.

Sega miring ini sudah seharga Rp. 15.000,00.  Menu lauk pauk yang super sederhana, harga di kampung masih relatif terjangkau. Bisa dibayangkan dengan harga kurang dari cemban itu akan dapat apa.  dulu, era 90-an uang Rp. 700,00 sudah bisa makan dengan cukup sehat.

Berandai-andai, bagaimana uang itu bisa nyukupi untuk makan siang bergizi. Telor harga dua ribu rupiah, tahu seribu rupiah, sudah habis separo anggaran. Beras  untuk nasi, kemasan, dan yang memasak, sayurnya dari mana?

Melihat hal ini terlihat beberapa hal yang sangat menarik untuk diulik.

Pertama, bagaimana Prabowo selaku presiden terpilih sangat tidak paham kebutuhan harian masyarakat kebanyakan. Jika ia sedikit saja tahu tidak usah paham, bagaimana harga-harga sudah tidak lagi terjangkau bagi kebanyakan masyarakat.

Kedua, persatuan kentang dan telor alias perkedel saja seribu rupiah itu sangat kecil. Lauk yang mencukupi untuk nasi makan siang kurang lebih tiga, ujung-ujungnya separo anggaran sudah terpakai. Hayo mana bisa bergizi jika anggarannya segitu?

Ketiga, BLT, PKH, atau bentuk bantuan lain saja kacau dan sering terdengar tidak tepat sasaran, terakhir pembicaraan KIP mahasiswa yang bergaya hidup mewah. Jauh lebih penting membenahi tata kelola bantuan ini, dari pada membuat program baru yang hanya demi popularitas semata.

Empat, urgensi makan siang gratis sebenarnya kurang beralasan yang sangat mendasar. Masyarakat kurang gizi sudah ada programnya, stunting sudah ada program untuk mengatasinya, kelaran secara masif sudah tidak ada. Laporan     siswa kurang gizi kog juga tidak pernah terdengar.

Lima, jika berkaitan dengan kemampuan intelektual rendah, bukan program makan siang gratis, namun bagaimana pendidikan yang lebih baik dan mengurangi hafalan di sekolah jelas lebih menjawab persoalan.

Enam, masih cukup segar dalam ingatan, bagaimana sebuah kota yang mengatasi stunting dengan anggaran sekian ribu namun isinya hanya tahu rebus sepotong. Hal yang sangat mungkin akan terjadi demikian.

Terbayang, nanti akan ada berita, anak sekolah X lempar-lemparan nasi makan siang gegara tidak layak atau disukai. Atau orang tua yang tidak terima karena anaknya diberi makan sesuatu yang tidak pernah mereka biasa berikan. Bisa pula guru-guru yang akan mendapatkan beban tambahan yang malah menambah pelik keberadaan guru dan pendidikan di sekolah , yang sudah penuh dengan beban administrasi dan kesibukan lainnya.

Harapannya semua berjalan baik, anak-anak makin sehat, dan pendidikan makin membuat siswa cerdas. Layak dinantikan.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan