Mencari Wapres

Kemarin, ketika demo yang tidak cukup signifikan, ada yang lebih menggelikan, yaitu korlapnya salah dalam melakukan ibadah sholat. Esensi demonya juga tidak demikian mendasar, cenderung asal kisruh dan ramai. Pelakunya juga itu-itu saja. Narasinya dari toa ujungnya juga Jokowi turun.

Menyedihkan lagi, korlap yang salah dalam ibadah dasar itu ternyata petinggi MUI. Awalnya mengaku pendengarannya terganggu toa, artinya demonya malah salah sasaran dan konteks. Membenarkan pengaturan volume.

Mungkin sadar kalau salah secara mendasar mengenai aksi dan perilakunya, ia mengubah menjadikan perekam yang menyebarkan sebagai pelaku buruk. Ibadah urusan personal dengan Sang Pencipta. Ini   jelas ngeles, karena aksi itu pasti ada rekaman untuk laporan pada penyandang dana. Kalau tidak ada kesalahan pasti bangga dengan rekaman itu.

Pejabat MUI. Ulama yang bertugas “mengawasi” umat dengan perilaku yang beragam, ternyata dirinya sendiri saja masih salah pada hal yang esensial. Diulik  lebih lanjut, ternyata a memiliki gelar yang begitu panjang, namun tidak konsisten di dalam penggunaannya di beberapa tempat yang mencatat.

Lebih memprihatinkan, ada yang melaporkan bahwa di pusat data Kemenristekdikti, tidak ada nama dengan gelar tersebut. Keliru dalam ibadah itu masihlah dimaklumi, toh relasi personal dengan Tuhan. Namun ketika ia menggunakan gelar palsu, kemungkinan besar demikian, terus duduk di sebuah lembaga yang sangat vital?

Mengapa mencari Wapres?

Wapres itu dulu orang penting di MUI, tentu saja sampai saat ini masih punya pamor. Dari pada hanya berkutat pada wisata halal, lebih baik mengurus MUI dulu yang belang bontel tidak karuan. MUI seolah menjadi ormas atau parpol oposan. Jauh lebih galak dan ramai dari pada PKS atau Demokrat. Ini jelas salah.

Gelar palsu, pernyataan-pernyataan offside dan kadang juga hoax yang ketika ketahuan akan ngeles tanpa merasa malu atau sungkan. Aneh dan lucu, malah seolah-olah baik-baik saja. Wisata yang sudah baik malah diotak-atik tidak karuan.

Penerapan wisata halal yang malah kacau dan tidak ada pengunjung sudah terjadi. Artinya,    ada yang keliru. Malah dipaksakan. Arab, UEA, dan Timur Tengah mulai membuka diri, di sini malah puritannya mau dikembangkan. Aneh lagi.

Perilaku koruptif, sekarang malah nambah hoax dan caci maki jauh lebih urgen ditangani. Jokowi seolah kerja sendiri dan wapresnya asyik dengan dunianya, yang kadang malah bertentangan dengan  falsafah negara. Miris.

Di mana Wapres?

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan