Negara ini dan Tikus dalam Karung
Negara ini dan Tikus dalam Karung
Seorang peneliti membawa tikus dalam karung di sebuah perjalanan kereta api. Setiap karung tenang, ia akan menggoyangkan bawaannya. Bisa dengan sepakan halus atau ayunan tangan ke tikus-tikus itu. Ada yang bertanya mengapa begitu? Si peneliti menjawab, si tikus biar asyik berkelahi karena menuding temannya yang membuat kegaduhan itu.
Sasaran utamanya adalah, agar mereka tidak bersatu dan bisa “berkolaborasi” untuk membuat lobang dan kabur. Isi, para tikus ini diajak, diarahkan, dan diberikan perilaku untuk “berkelahi” antar mereka.
Sadar tidak di negeri ini juga sedang berperilaku demikian, disajikan isu ijazah palsu, berpolemik panjang kali lebar tidak pernah kelar. Kini, hal baru dengan isu perusakan lingkungan di Raja Ampat. Mengapa? Masalah ijazah palsu sudah mendekati babak baru.
Publik tidak tahu dan akan mau tahu ada aksi, tindakan, dan perilaku ugal-ugalan dari pemerintah. Mengapa?

Lihat saja, dunia pendidikan yang dibuat kembali ke setelan pabrik, model lama. Hal-hal baru yang bagus disingkirkan. Masalah ini klasik, ganti menteri, ganti buku, ganti kurikulum, ganti kebijakan. Masih lah urusan yang sudah dilakukan dari masa ke masa. Padahal ngeri dampaknya.
Proyek tentara yang massif masuk dunia sipil, sudah reda, tidak diingat lagi. Padahal masih ada yang lebih sensasional dengan rekrutmen 20.000 tamtama, padahal konon efisiensi. Tidak untuk pertahanan, namun untuk ngurusin pangan. Kan sudah ada dinas dan Kementerian Pertanian, optimalkan itu, ngapain tentara yang jelas jauh dari tupoksinya. Netizen diam saja, karena merasa tidak asyik.
Membuka batalyon baru, Kodam baru, dan seolah-olah itu biasa saja, karena masyarakat tidak tahu, karena asyik dengan isu remeh-temeh yang memang digelontorkan terus menerus. Tentara balik ke barak, malah dimekarkan dengan gaya baru, namun pola lama, Orba banget.
Wacana Sejarah baru ala Menteri Kebudayaan. Bagaimana Sejarah 98 yang demikian kelam katanya tidak ada. Perkosaan massal tidak terjadi karena tidak ada bukti. Ini sudah gila, jika bicara kisah kelam 65, sudah banyak yang tidak lagi jernih, wonga nak pahlawan revolusi saja tidak didengar, terbungkam oleh penguasa, masih bisa dimengerti jika tertutup sebagaimana kehendak yang teruntungkan waktu itu.
Beda jika 98 ini, pelaku dalam konteks yang ikut dalam perjuangan reformasi, korban, para saksi, dan data masih sangat segar. Media sudah mulai terbuka, tidak bisa disetir sebagaimana kemauan penguasa. Toh public juga diam saja, tidak banyak bereaksi, karena merasa bukan kepentingannya, tidak cukup sensi dan dibahas berjilid-jilid ala ijazah palsu.
Belum lagi perjalanan ngeri makin siang gratis yang tidak karu-karuan. Megaanggaran yang entah jadinya apa, siapa yang mengelola, pada diam saja, karena tidak massif menjadi pembahasan di media. Diam, karena mendapatkan remah-remahnya. Miris.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan