Politik

Menteri Kebudayaan yang Tidak Berbudaya

Menteri Kebudayaan yang Tidak Berbudaya

Pemerintahan kali ini terlalu banyak wacana. Seolah masih masa kampanye. Presidennya masih bicara akan…akan…akan. Anak buahnya banyak blunder dan bicara asal mangap. Terakhir Menteri Kebudayaan yang nirbudaya, sejak dulu hanya bisa nyinyir doang. Kerja sebagai wakil ketua DPR dengan layer lebar di ruangannya untuk ngolok-olok pemerintahan lalu.

Kini disuruh kerja, ya mana bisa. Eh mau membuat Sejarah baru bagi bangsa Indonesia. Mirisnya adalah Sejarah yang sesuai dengan versinya, dan kelompoknya. Lha belum ada setengah abad kejadiannya. Para korban, saksi Sejarah, pun pelakunya masih banyak yang sehat, segar, waras pula. Kog mau diarahkan sebagaimana keinginannya.

Salah satu yang paling tidak waras adalah, kekerasan, baca perkosaan massal 98 tidak ada saksi. Dia pegangan digital, namun otak masih manual. Mainnya twiter, X, namun ternyata masih otak zaman batu. Era internet, semua orang bisa mengakses data dan berita, kog mau diarahkan seperti bebek.

Tim Gabungan Pencari Fakta masih hidup, datanya tentu masih ada. Menbud Fadli Zon, langsung ngeles, mengatakan, tidak ada nama, saksi, tempat, dan seterusnya. Sepakat pernyataan salah satu dari Komnas Perempuan, bahwa ini adalah kekerasan berulang. Mbok ya o sedikit memiliki otak dan memberikan empati. Mosok babar blas tidak ada. Jika mau membela bosnya, bisa memilih yang lain. Jangan perkosaan ini, wong bosnya tidak mungkin melakukannya toh.

Bagaimana perasaan para korban, keluarga, dan juga kerabatnya. Mosok sih, sampai harus dia juga merasakan, misalnya ibu, kakak, adik, istri, atau anak perempuannya yang menjadi korban, baru tahu rasanya? Miris, memilukan, sekelas Menteri nirempati.

Ingat, ini zaman terbuka, semua bisa mengakses, dan data begitu banyak, eh, menterinya malah malas untuk melakukan miniriset. Jadilah kedodoran sendiri. Bicara itu berpikir terlebih dahulu, bukan sebaliknya, bicara baru mikir, perlu klarifikasi, ngezonk pulak.

Jika terus-terusan begini, benar kata Capres Prabowo kala itu, 2030 Indonesia bubar, lha ngaco kog kabinetnya.  Belum lagi bicara Raja Ampat, kasus Sumut-Aceh, belum lagi makan siang berbau, eh makan siang gratis yang carut marut, namun ditutupi dengan sangat rapi dan gelontoran uang pada pihak tertentu. Kasus ormas yang ugal-ugalan, apparat ngawur, yang bisa jadi nantinya membuat kemarahan publik pada penegak hukum.

Konflik horizontal yang didiamkan saja, intoleransi yang terus menerus dibiarkan berlalu, penegakkan hukum yang timpang dan tidak adil, sangat mungkin menjadi bola salju dan revolusi akar rumput terjadi. Elit dan parpol yang tidak pernah benar-benar memikirkan masyarakat pemilihnya.

Diamnya rakyat bukan karena takut, namun masih sabar dan memberikan kesempatan untuk para elit berubah. Jangan sampai menjadi hilang sabar dan meledak tak terkendali sebagaimana 98 lampau. Apakah akan menjadi pembuktian untuk Fadli Zon?

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *