FEATURED

Negeri Agraris yang Krisis

Negeri Agraris yang Krisis

Prabowo Berikan 10.000 Ton Beras ke Palestina

Hari-hari ini, Indonesia lagi panen raya padi. Di mana-mana hasil panenan periode ini bagus. Memang kemarin gagal panen di beberapa tempat karena air hujan yang terlalu tinggi dan hama tikus merajalela. Kali ini tidak demikian. Amatan pribadi dan juga pemberitaan minim informasi gagal panen. Namun, harga merangkak naik, bahkan tembus Rp.14.000,00 per kilogram di pasar, dekat sentra beras.

Memang belum setinggi pada beberapa bulan lalu yang mencapai Rp.15.000,00. Mungkin sekilas sepele, namun ini adalah bahan pokok, setiap orang perlu dan bahkan seolah harus. Perut sudah terbiasa dengan nasi yang berasal dari beras. Padahal karbohidrat banyak di negara ini. Ada ubi, ketela, jagung, talas, pun bisa menggunakan kentang atau gandum.

Kepikiran bahwa kenaikan ini karena banyaknya pasokan untuk dapur MBG.Potensi  adanya distribusi yang terganggu karena kepentingan negara dengan program makan siang gratis ini. Adanya masa transisi yang tidak kecil dampaknya, masuk dapur umum yang demikian besar. Belum lagi rumah makan waralaba yang makin menjamur.

Bantuan Gaza-Palestina

Cukup kaget, di tengah krisis seperti ini ada seruan dari Presiden Prabowo untuk mengirimkan bantuan 10.000 ton beras ke Palestina. Padahal pernah membeli beras hitam, yang konon didatangkan dari Vietnam. Bagaimana beras yang di sini kurang malah diberikan pada bangsa lain.

Tentu bukan barang buruk membantu negara lain, namun bisa lebih bijaksana lagi. Sesuaikan dengan kondisi dan situasi bangsa sendiri. Jangan sampai maunya menyenangkan pihak tertentu dengan membuat rakyat secara umum menderita. Pola politik membuang sampah di rumah tetangga itu masih terulang. Membangun citra baik, rumah paling bersih, namun membuang kotorannya ke sebelah. Masalah sendiri tidak diselesaikan, namun dibuang ke rumah sebelah.

Pengulangan, mengapa terjadi?

Politik citra demikian kuat. Terjadi karena prestasinya tidak cukup mampu membuat gambaran besar untuk bisa memikat hati rakyat. Capaian tidak ada, ya gunakan cara paling praktis, menggunakan sentimen Palestina. Pendukung isu ini sangat besar, dan bisa diandalkan untuk meraup suara.

Lepas fokus. Penginnya jadi presiden, bukan membangun bangsa dengan menjadi kepala negara.   Jika visinya adalah membangun negara ini, tentu akan memikirkan kesejahteraan dan kebahagiaan warganya, bukan malah memikirkan bangsa lain.

Tentu bukan egois hanya berfikir mengenai Indonesia saja, namun prioritasnya lebih ke negeri sendiri, bukan malah mengorbankan masyarakat sendiri demi popularitas dan membantu berlebihan bagi bangsa lain.

Katanya efisiensi, lha ini beras beribu-ribu ton diberikan pada negara lain, padahal kondisi di sana tidak persis seperti yang dibayangkan. Berbeda metika tahun 80-an menyaksikan Etopia yang kelaparan. Itu kemanusiaan, lha Palestina ini mengenai politik kog. Belum lagi jika bicara adanya “pejuang” yang dinilai “teroris.” Masih sumir.

Prestasi susah terlihat, makanya mencari-cari sensasi. Paling gampang ya menggunakan isu agama mayoritas. Padahal begitu banyak aksi dan pernyataan intoleransi, diam sejuta Bahasa terus. Mengapa? Ya tidak akan populer, malah makin nyungsep.

Sepanjang pemilu menggunakan one man one vote, namun minim prestasi, yang menyebar ya sensasi murahan. Isu agama mayoritas yang menyenangkan. Tidak akan berani membuat gebrakan yang antipopulis. Ketenaran saja yang diharapkan dan berujung pada kemenangan untuk kursi dan jabatan semata.

Rakyat itu tidak ada dalam benak pejabat yang dipilih oleh rakyat, karena hanya dimanfaatkan suaranya. Mengenai susahnya ya biar dipikir sendiri.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *