Politisasi Mayat, Belajar dari Meninggalnya Tengku Zul
Miris, perilaku ideolog ultrakanan, ketika pihak yang sama meninggal, bukannya mendoakan malah menggunakannya sebagai sarana politisasi. Beramai-ramai menarasikan pemerintah jahat, dari covid, minta ucapan, dan malah ada yang bersaksi almarhum orang baik.
Layak dicermati beberapa tayangan media sosial dari kelompok yang sama, pertama, Rocky Gerung. Ia meminta Presiden Jokowi memberikan ucapan duka bagi mendiang. Hal yang aneh dan lucu, ke mana Rocky Gerung ketika ada pemenggalan kepala di Poso, waktunya masih relatif sama.
Nakes yang menyoal rezim dan menuding koleganya sudah mengolesi alat usap dengan virus, ini tudingan serius, apakah akan berlanjut, atau selesai begitu saja?
Ada kesaksian dari kader dan elit PKS almarhum sebagai pribadi hebat. Itu sih sah-sah saja sebagai upaya branding diri dan partai. Namun memilukan, ketika menggunakan mayat sebagai komoditi politisasi.
Bayangkan, bagaimana terlukanya keluarga, ketika kerabat mereka belum kering tanah makamnya, malah menjadi bahan pergunjingan. Coba di balik, ketika itu ayahku, kakakku, kakekku yang menjadi bahan, rela tidak?
Apa kurang bahan sih untuk pencitraan, janganlah lebay, naif, dan kejam bahkan dengan menggunakan duka, kecelakaan, bencana, dan kematian sebagai bahan berpolitik dan berpolemik.
Berikan sedikit empati, jika tidak bisa membicarakan kebaikan, diam jauh lebih baik. Miris, ketika kuu yang biasa dihina-hinakan, malah pada mendoakan, memberikan perhatian dengan menyatakan, meskipun tidak suka dengan apa yang biasa dilakukan, toh meninggal, harus didoakan.
Entah sampai kapan barisan sakit hati, kelompok oposan yang aslinya tidak jelas itu bisa berkompetisi dengan waras dan sehat. Semakin banyak politikus berprestasi, toh masih juga banyak yang menjual sensasi.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan