Menakar Nalar Dokter, Komentar Meninggalnya Tengku Zul
Ikut berduka, atas korban lagi-lagi covid. Malah lebih memilukan adalah narasi oleh warga net. Dalam profilnya, tampaknya nakes, dokter. Nah, isi dari tayangan media sosial ini yang layak dicermati.
Pertama, ia mengatakan, kog ulama yang kontra pemerintah, banyak yang jadi korban covid, usai swab. Jangan-jangan di stiknya sudah diolesi virus. Menarik, jika ini benar-benar dilakukan, dituduhkan oleh dokter ( nakes ), kog tega, atau memang biasa terjadi?
Ingat, ia juga nakes, meskipun biasa drama, sinetron, mengaku dibajak. Kepolisian yang harus membuktikan, benar tidak dibajak, dan benar tidak narasi, stik diolesi. Ini sangat serius, jangan dianggap biasa saja, oleh semua pihak.
Dua hal yang sangat penting untuk ditelisik sehingga tidak menjadi tabiat yang mudah menuding dan kemudian minta maaf dan ngeles. Selalu berulang dengan narasi yang sama.
Mengaitkan komunis dan pemerintah. Ini juga tidak kalah seriusnya. Mana ada sih di dunia ini yang masih potensial menggunakan ideologi komunis? Sudah tidak ada lagi. Jelas-jelas ideologi usang dan bagian sejarah, namun diulang, ujung-ujungnya juga dibajak, maaf, khilaf, dan malah jangan-jangan jadi duta, kan ngaco.
Penyelesaian yang naif. Biasanya orang yang sangat biasa, pendidikan hanya cukup, tidak punya jaringan dan kekuatan yang diusut. Elit-elit, memiliki profesi yang berikatan kuat, akan lolos. Belum lagi partai politik minim prestasi, menunggangi isu dan kejadian apapun untuk mendapatkan panggung.
Coba jika penegakkan hukum tegas dan lugas, terutama untuk elit dan para petinggi partai politik yang dijadikan sasaran penegakan. Yang bawah pasti akan takut dan jerih. Berbeda, jika orang biasa yang ditangkap, yang atas mana peduli.
Atas nama kebebasan berpendapat, bebas itu tidak berarti termasuk memfitnah, menuliskan hanya berdasarkan asumsi. Miris, ketika orang-orang berpendidikan tinggi juga berlaku demikian.
Saatnya bebenah dan berubah untuk hidup tertib hukum, taat konsensus, bertanggung jawab. Bicara, atau nyetatus dulu baru mikir, bukan sebaliknya.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan