Tambunnya Prabowo, eh Kabinet Merah Putih

Tambunnya Prabowo, eh Kabinet Merah Putih

Kabinet pemerintahan Prabowo sedang melakukan retret di mana presiden itu dulu ditempat, Akmil Magelang. Kota dingin yang menyenangkan. Pendidikan menengah atas terbaik ada di sini, pembinaan calon pemimpin militer dan Gereja Katolik yang keduanya sangat hirarkhis ada di kawasan ini.

Retret, mundur ke belakang untuk maju lebih kencang ke depan, itu gambaran paling mudah mengenai kata kegiatan tersebut. Mundur sejenak di tempat yang sunyi memang sangat bagus. Pembekalan yang baik untuk ke depan.

Komentar mengenai tambunnya kabinet itu seperti orang yang obesitas. Bagaimana gerak mereka pasti terbatas, susah untuk bisa lincah dalam mengelola keadaan darurat, perlu koordinasi ekstra ketika  ada persoalan. Lihat saja orang yang gemuk, mau berdiri saja perlu energi ekstra, mau jalan lebih lagi, jangan tanya untuk berlari.

Nah, dengan  110 anggota kabinet, menteri, wakil menteri, badan ini dan itu, bagaimana bisa dibayangkan. Lha zaman Bung Karno dengan 100 menteri saja sejarah mengatakan, apalagi ini. apa sih urgensinya sampai 100 lebih?

Pertama, bagi-bagi kue. Suka atau tidak, kemenangan Prabowo disokong berbagai elemen dan partai politik. Wajar, kursinya yang mengandung kue dibagikan ke banyak pihak. Mekar dan membengkaknya jabatan menteri, wakil, dan menciptakan badan-badan.

Kedua, inferior, kalah dua kali tetap saja membekas dan Prabowo rendah diri. Merasa tidak mampu tanpa ditopang dari segala sisi dan pihak. Utang budi sejak 2014 plus tambahan dari relawan Jokowi,    akhirnya jadi deh seperti itu.

Para ketum parpol menjadi menko, malah kadang hanya dua kementerian dengan adanya menteri koordinasi. Hal ini jelas inefesien, tapi ya harus dilakukan, karena memang kudu begitu.

Ketiga, kemampuan dari si pejabat. Begitu banyak jabatan dengan wakil  yang berlebihan, karena memang kapasitas pejabatnya rendah, hal ini berkaitan dengan point pertama dan kedua di atas. Sekadar bagi-bagi kue dan karena mindernya si presiden.

Kedekatan personal dan  dukungan politik membuat kudu jadi ini dan itu, akhirnya membengkak perlu back up wakil dua atau tiga bukan cuma satu. Beban politik yang harus ditanggung masyarakat dengan beban pajak dan subsidi yang pastinya harus terpotong.

Keempat, gemuknya kabinet akan bisa dipastikan geraknya lamban. Koordinasi susah, dan sangat mungkin tumpang tindih dan malah tidak terselesaikan. Hal yang terlihat akan semrawut. Jauh dari efisiensi dan efektif. Semakin banyak kepala malah susah untuk menjadi keputusan apalagi pelaksanaan.

Apakah ini pesimis? Tidak juga, namun realistis melihat postur gemoy yang kek ini, ragu bisa kerja cepat, cekatan, dan efisien. Semoga saja tidak demikian adanya.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan