Tumpeng Karawang dan Makanan PON, Makan Siang Gratis Perlu Belajar
Tumpeng Karawang dan Makanan PON, Makan Siang Gratis Perlu Belajar
Beberapa waktu lalu Karawang mengadakan pesta ulang tahun. Salah satu acaranya adalah pemecahan rekor MURI dengan membuat 1600 tumpeng untuk membentuk peta Kabupaten Karawang. Seusai acara, banyak makanan dibuang. Salah satu peserta mengatakan, jika sampai saweran lima juta kog hanya dibuang.
Bupati mengatakan, bahwa yang dibuang itu yang sudah tidak layak makan. Basi, atau menjelang sudah tidak layak konsumsi. Wajar, bahasa komunikasi dan jelas membela diri atas kecerobohan yang terjadi. Faktanya ada yang mengeluhkan, harusnya disuruh bawa pulang saja, dari pada dibuang.
Pada gelaran PON, katering makanan untuk atlet dan ofisial juga kacau. Berbagai tayangan memperlihatkan tidak sesuai banget dengan kebutuhan atlet. Menpora selaku penanggung jawab utama hanya merespon, susah menyediakan makan untuk banyak orang.
Dua gelaran cukup besar, makanan, dan juga pastinya persiapan. Nah, bagaimana keduanya memperlihatkan kekacauan. Bagaimana makan siang gratis yang melibatkan lebih gede lagi kebutuhan dan juga pastinya distribusi. Pelaksananya mosok mau satu atau dua perusahaan, jauh lebih bagus dan realistis ya model dana desa. Pelaku usaha setempat.
Beberapa hal yang layak diulik;
Pertama, anggaran. Hal ini pasti akan menjadi bancakan. Bagaimana mutu menu dan keberadaan bahan baku. Anggaran yang konon 15 ribu dan menjadi 7.500 itu akan seperti apa, belum lagi kebocoran yang begitu gila. Isu uang lauk pauk di lembaga pemasyarakatan kan juga begitu santer. Apakah ini juga akan terjadi? Sangat mungkin iya.
Perilaku pengguna anggaran dalam pembelian barang, makanan itu sangat biasa meminta “upeti” ke pengusaha. Mau uang tunai atau bayar langsung, ada saja cara untuk memperoleh keuntungan.
Kedua, menu. Susah berharap banyak dengan anggaran dan kebiasaan masyarakat kita mau ribet dengan menu. Ketika mulai bosan dan tidak enak, akan seperti apa nasib makan siang itu. Sangat mungkin jadi bahan lempar-lemparan, terutama sekolah-sekolah elit.
Ketiga, keberadaan tabiat tidak menghormati makanan. Negeri ini terbesar keempat di dunia, dan nomor pertama di Asia Tenggara, sangat mungkin tidak akan segan-segan membuang makanan yang tidak enak, sudah bosan, karena tabiat atau kebiasaan ini.
Keempat, tanpa literasi dan edukasi, ini bisa menjadi bom waktu yang mengerikan. Membuang-buang makanan dan tentu saja anggaran. Perlu pembiasaan, makan habis, dan tidak perlu suka atau tidak suka, makan saja. Perlu kerja keras.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan