Politik

Prabowo Kudu Latihan Diam

Prabowo Kudu Latihan Diam

Seorang tokoh mengatakan, latihan bicara hanya perlu dua tahun, melatih diri diam jauh lebih lama, bisa puluhan tahun. Ungkapan bijaksana, di tengah orang yang lebih banyak bicara. Mendengarkan itu susah, padahal satu mulut dua telinga. Lebih banyak mendengarkan dari pada berbicara. Mengapa Prabowo kudu diam?

Sebenarnya tidak soal komentar, namun lebih ke kebijakan yang sering terlihat omong dulu, soal kesulitan nanti carikan jalan keluar, ada pula landasan hukumnya. Kan repot wong orang nomor satu di negeri ini. Beberapa hal yang terlihat omong cepet, baru kelabakan bahkan dianulasi adalah;

Mengenai membebaskan maling berdasi kalau mau mengembalikan dana yang dicolong. Menterinya kelabakan mencarikan landasan hukum. Meminjam milik kejaksaan, ternyata keliru. Ini menguap begitu saja, padahal sudah ada pembicaraan mengenai UU Penyitaan Aset Maling ini. Kog tidak ngebet dan ngebut itu?

Anak buahnya setali tiga uang, mulai penjualan gas LPG 3 kg yang mau dipangkas distribusinya, malah jadi langka dan hilang, efisiensi anggaran  yang berdampak ke mana-mana, penundaan pengangkatan CPNS dan CP3K    yang akhirnya ditunda dan dilakukan sesuai dengan rencana. Padahal jelas sudah berdampak, ada akibat yang ditimbulkan. Pemimpin tidak sebaiknya begitu. Pikir dulu baru buat kebijakan, omong itu dikurangi.

Pas May Day menyatakan, akan menghapuskan tenaga outsourcing, padahal sekian lama sudah terjadi. Di tengah lesunya ekonomi dan badai PHK malah mempersulit hal yang masih bisa ditunda. Banyakin lowongan kerja, entah bagaimana caranya kan harusnya menjadi pemikiran dan juga kebijakan pemimpin.  Masih ramai dan menjadi perbincangan publik, eh sudah menyusul isu dan kejadian baru.

Eh sudah ada pembatalan SK mutasi perwira tinggi militer, melibatkan salah satu anak sesepuh negara, yang baru saja bicara politis. Apakah Prabowo tidak tahu? Mustahil tidak tahu. Nah ada apa dengan model komunikasi demikian?

Sejatinya program, kebijakan, dan apa yang dilakukan memang cenderung tidak dipikirkan dengan masak-masak, sekadar popular dan menyenangkan banyak pihak. Lihat saja kabinet dan aneka tambahan hanya untuk mengakomodasi pendukungnya. Kompetensinya jauh dari harapan.

Program makan siang gratis, belum berjalan saja sudah berkali ulang direvisi, diganti istilah, anggaran juga, belum lagi permodalan yang pontang-panting dan membuat repot. Cenderung grusa-grusu, pikir keri yang membuat negara bisa oleng. Eh malah memberikan pernyataan-pernyataan yang kontradiktif.

Masalah politik yang tidak kelar-kelar juga membuat keadaan tidak lebih baik, terutama untuk masyarakat. Entah sampai kapan kutukan bernegara macam ini berakhir, sehingga bangsa ini membangun bukan malah merusak.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

 

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *