Politik

Prabowo Tidak Mendengar dan Tidak Didengar

Belajar dari Demo Berdarah 25

Setelah 98 ini ada demonstrasi berdarah yang paling besar. Alam demokrasi adanya demonstrasi itu wajar, namun jika berujung ricuh, rusuh, dan penjarahan sih bukan demokrasi. Toh selalu terulang, periode tiga dasa warsa. Mengapa bisa terjadi?

Presiden sudah turun tangan, via video dan kemudian dipertegas dengan hadir bersama  ketua umum parpol yang memiliki kursi di Senayan. Hal yang sebenarnya tidak cukup tepat, entah jika maunya memperlihatkan dukungan parlemen untuknya. Tidak menjawab apa yang dikeluhkan warga.

Prabowo Tidak Mendengar

Apa yang ia sampaikan, bahasa simbol yang dibawa jelas jauh dari mendengarkan. Pilihan kata makar, asing, dan provokator memperlihatkan dia tidak tahu persis apa yang warga maksudkan. Rakyat menyuarakan pendapatnya karena kondisi riil mass aitu sulit. Pajak naik banyak, beras harganya sangat tinggi, lapangan kerja yang minim, kinerja kabinet yang amburadul, eh bagi-bagi bintang, dan  kenaikan tunjangan anggota dewan yang di luar nalar.

Konon efisiensi, padahal Prabowo sendiri menambah kementrian, akan nambah dua kementrian, padahal kabinet sudah begitu gemuk, nirkerja berprestasi malah diberi penghargaan. Setali tiga uang dengan kinerja dewan. Belum ada hasil kerja menonjol, eh malah ditambahin tunjangan berkali-kali lipat dari UMR.

Masalahnya itu di sana, MBG yang dijadikan unggulan lebih banyak berita negatif, menu yang ala kadar, keracunan, dan seterusnya. Padahal anggarannya superjumbo, di tengah efisiensi pula. Ini lho yang terjadi di lapangan.

Salah satu elit mengatakan, orang terdekat Prabowo tidak memberikan informasi yang senyatanya di masyarakat.  Bisa diterima akal sehat, model tentara, pun pribadi yang memang terlihat begitu. Lebih senang mendengar hal-hal bagus. Terlihat dari apa yang selalu ia nyatakan dalam pidato-pidatonya. Tidak klop dengan keadaan nyata.

Prabowo Tidak Didengar

Konsekuensi logis, orang yang tidak mau mendengar, pasti juga tidak akan didengar. Lihat saja seruannya selama ini, tidak ada yang menanggapi sebagaimana ia inginkan. Menghentikan aksi demonstrasi juga masih terjadi. Pun dalam lingkaran elit, mereka pada mencari jalan dan selamat sendiri-sendiri.

Seruannya hanya menjadi bunyi-bunyian semata. Sering juga terdengar konyol, tidak pantas sebagai seorang presiden mengatakan hal tersebut. Sering yang ia katakana itu tidak mencerminkan apa yang terjadi di tengah masyarakat.  Lihat saja mengenai ketahanan pangan, eh malah nyumbang Palestina 10.000 ton, padahal negara sendiri impor.

Efisiensi namun perilakunya inefisien, mana orang-rakyat mendengarkannya? Malah cenderung menjadi bahan olok-olokan dan kasihan sebenarnya. Dia ini mampu tidak, atau tahu atau enggak dengan jabatannya.

Pemimpin itu harusnya mampu mendengar, sehingga orang-rakyatnya juga akan mendengarkannya. Cenderung malah belum bicara saja sudah enggan memperhatikan, karena sering tidak pas apa yang dikatakan.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *