Jokowi, Presiden, dan Kutukan Mpu Gandring

Jokowi, Presiden, dan Kutukan Mpu Gandring

Ken Arok dengan keris Mpu Gandring yang sangat melegenda di Nusantara, seolah masih terjadi di masa modern ini. Pembunuhan yang  dilakukan pada pembuat keris sakti itu menuai tuah, juga mengakhiri hidup si pemakainya. Turun temurun kutukan itu terjadi.

Ketika negeri ini merdeka dan menyatakan diri sebagai Indonesia, jauh berabad kemudian dari tragedi kudeta dan perebutan kekuasaan dan juga permaisuri itu seolah masih terulang. Tujuh presiden yang pernah memerintah itu turun dengan cara-cara yang cukup tidak elok. Harapan baik itu pada presiden ketujuh. Ingat konsep tujuh turunan.

Bung Karno yang dicintai dan dikagumi rakyatnya, bangsa-bangsa senasib, dan juga tokoh besar dunia berakhir tragis. Usai “kudeta,” laporan pertanggungjawabannya di MPR ditolak. Gagal sebagai presiden setelah 20 tahun jatuh bangun mencari format terbaik di antara gempuran Belanda dan Barat. Pemberontakan-pemberontakan di berbagai tempat dan waktu juga menjadi perjuangannya. Ia harus turun dengan sangat buruk. Meninggal dalam keadaan merana.

Soeharto naik ke tampuk kekuasaan hingga 32 tahun. Bapak Pembangunan yang membumikan Pancasila dengan kursus pola 45 hingga 100 jam. Subversif sebagai andalannya. Tak gebug  ketika ada pembicaraan mengenai suksesi. Kegagalan mengatasi  krisis ekonomi menumbangkannya dari kursi kepresidenan. Tumbang dan merana di masa tua. Memang tidak setragis Bung Karno, ia masih tetap kaya raya, di keliling anak cucu, namun toh pastinya ia tidak bersuka cita dengan cara mundur karena kabinetnya mbalela.

BJ Habibie. Ia hanya sangat singkat menggantikan mentornya Soeharto. Referendum Timor-Timur yang gagal, ia mengadakan pemilu dan pertanggungjawabannya di MPR seperti Sukarno, ditolak. Tidak cukup banyak kisah perjuangannya. Rudy harus puas. Berhenti, mau maju dalam pemilihan lagi, partainya tidak merestui.

Gus Dur. Harapan besar,   pluralis jempolan, cerdas, dan berkharisma. Ia menjadi presiden cukup singkat. Intrik atas euforia reformasi membuatnya harus turun di tengah jalan. Keluar istana dengan kaki terlihat, hanya mengenakan celana pendek. Mungkin bagi tokoh-tokoh lain itu sangat memalukan, traumatik, tidak bagi sosok yang sudah melampaui dirinya itu. turun di tengah jalan.

Megawati. Pengganti Gus Dur ini mengantar pilpres pemilihan secara langsung. Kepemimpinan yang relatif singkat namun membawa perubahan besar. Ia gagal dalam pemilihan. Tidak dipilih lagi oleh mayoritas masyarakat. Tidak setragis bapaknya atau pendahulu-pendahulunya tentu saja. Pemilihan periode berikutnya juga masih sama. Lawan yang sama, kalah lagi.

SBY. Presiden militer kedua Indonesia, ini bisa melaju dua kali, pemilihan langsung. Pembangunan cukup masif, presiden yang suka konpres dan menghibur rakyatnya dengan lagu ciptaan dan yang dinyanyikannya. Ia lumayan sukses bertahan tanpa keadaan fatal yang menghiasi kepemimpinannya. Teror besar memang sering terjadi. Sayang bahwa   turun dari panggung dengan dua periode full itu dengan catatan partainya jeblok sangat parah. Pemilu periode berikutnya tidak membaik, tentu ini beban pikirannya juga.

Jokowi. Sosok yang fenomenal. Pengusaha yang berasal dari bawah, mencapai posisi bagus, dan masuk dunia politik. Menang dalam pilwako Solo dan sukses membawa perubahan signifikan, menjadi sorotan media. Wajar periode dua ia menang dengan sangat besar, tanpa kampanye. Keberadaannya menarik parpol nasional membawanya ke Jakarta. Gebrakan membuat Jakarta lebih baik terlihat jelas. Tidak sampai satu periode ia mentas dalam pilpres dan menang. Partai pengusungnya cenderung minim.

Blusukan menjadi cara ia merakyat, dan itu tidak berkurang. Kedekatannya dengan masyarakat membuatkan makin bersinar. Wajar di penghujung jabatannya ia masih di atas 80% kepuasan publik. Masyarakat percaya. Apalagi ia menolak, upaya-upaya mengubah UU agar bisa tiga periode. Pilihan bijak.

Turun karena batasan waktu dengan kepala tegak, dan yakin ia tidak akan mengalami post power syndrome usai tidak menjadi presiden. Manusia pekerja   yang bisa menerima direndahkan, karena ia memilih merendah, bukan merasa diri di atas. Sumeleh tingkat tinggi yang membuatnya bisa menelorkan gagasan-gagasan besar bagi negeri ini.

Negara ini makin besar dan berkibar, berjalan di antara masa dengan penuh perjuangan. Masa lalu adalah pengalaman yang harus dijadikan pelajaran berharga. Masa depan itu visi untuk lebih baik lagi.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan