AHY Cucu Nabi dan Dosen UGM, Politik Identitas Masih Kuat
Pasca demo 114, peta politik nasional masih cukup panas. Kubu-kubuan ala pilkada DKI 17 masih terpelihara. Sebenarnya hal ini tidak sertamerta karena kesuksesan pilkada DKI itu semata. Sejarah masa lalu ultrakanan yang memang ada dan tidak pernah disadari sebagai sebuah ancaman atas kebhinekaan.
Hal inilah yang membuat mereka merajalela untuk menciptakan kegaduhan secara politik. Identitas dan ras selalu dilakukan berulang karena memang laku. Laris dengan darah, labeling, dan identitas yang sangat mudah untuk menarik dukungan dan juga menciptakan serangan pada pihak yang berseberangan.
Cucu nabi, keturunan orang gede, ini hanya ciri orang feodal. Berdiri dan melangkah karena merasa memiliki kebesaran nama, darah, dan keluarga. Era moderan, digital, tetapi perilaku masih manual dan tradisional.
Dosen, guru besar, itu orang terdidik, bukan orang yang kuper, pasti tahu dengan baik mengenai ideologi dan juga dasar negara, toh melakukan provokasi dan narasi berdasar kebencian karena perbedaan aafiliasi politik.
Terus berulang, setiap ada demo, akan diikuti dengan narasi dan provokasi dengan dasar ras, agama, dan ideologi. Lagi-lagi sentimen negatif yang dibesar-besarkan. Padahal negeri ini dibangun di atas perbedaan. Bhineka tunggal ika.
Kekayaan negeri dengan perbedaan ini, bisa jadi akan menjadi bumerang, kalau terus-terusan aksi provokasi dan narasi kebencian itu diterus-teruskan. Penegakkan hukum yang sangat terasa tebang pilih dan memihk aksi ultrakanan.
Pilkada DKI itu jelas sebuah sejarah kelam. Bagaimana ayat dan mayat bisa menjadi bahan kampanye di ibukota negara modern, Jakarta. Menang lagi, dan seolah-olah itu baik-baik saja.
Masalah krusial yang seolah bukan apa-apa. Perlu keberanian untuk mengakui ini adalah masalah.
Salam penuh kasih
Susy Haryawan