AHY yang Ngebet, Gibran yang Mumet

AHY yang Ngebet, Gibran yang Mumet

Makin hari, makin memanas persoalan pilpres. Waktu makin menjelang, KIM masih ungkak-ungkuk soal calon wakil  yang hendak mendampingi Prabowo. Tarik ulur kepentingan para partai pengusung nampak dengan jelas. Gemuk yang membelenggu itu terlihat makin kuat.

Beredar isu-isu memperlengkapi syarat pencalonan oleh Erick Thohir dengan SKCK, namun ada pula syarat bebas pidana dari pengadilan untuk Yusril. Keduanya berarti ada potensi untuk menjadi pendamping Menhan RI ini. Toh  masih ada pula baliho yang cukup marak, di mana Airlangga dengan AHY sebagai sebuah pasangan untuk pencapresan di 24 nanti.

Apa yang terjadi itu, terutama keberadaan AHY yang demikian ngebet, bergonta-ganti pasangan, dengan target yang sama, cawapres mau presidennya siapa. Eh ada kemungkinan bersama ketua Golkar. Publik juga paham, mereka tidak akan bisa bicara banyak ke depannya dengan modal suara partai dan ketenaran serta keterpilihan dalam kelas pilpres.

Menyesakkan ketika bicara Gibran. Suka atau tidak, rela atau tidak, Gibran sama sekali tidak ngebet, lihat dan ingat di 14 lalu sikapnya seperti apa. Sama sekali tidak senang dengan politik. Benar, dia berubah dan akhirnya menjadi walikota.  Jika diperbandingkan dengan AHY, Gibran itu sama sekali tidak ada aksi apapun untuk menjadi pendamping capres siapapun itu, meskipun sangat bisa.

Prabowo sejak Lebaran lalu sudah memberikan signal sangat kuat, transparan, terang benderang, keputusan MK yang sangat kontroversial, itu angin surga atau karpet merah baginya. Toh sikapnya sama sekali tidak memperlihatkan itu. Ia diam dan  tidak memperlihatkan keinginannya dengan cara apapun.

Bandingkan dengan AHY yang sering membangun narasi bahwa mereka adalah pengusung perubahan. Mengritisi pemerintahan yang sedang berjalan dengan berbagai-bagai cara, membangun komunikasi  dan koalisi ke mana-mana. Pada akhirnya hanya menjadi penonton saja.

Lain dengan keadaan Gibran, malah ia yang didatangi Prabowo.  Berbeda bukan? Kesiapan Gibran itu sebuah harapan KIM, mereka malah yang berharap, bukan Gibran yang menyodorkan diri.

Politikus muda kedua-duanya. Matang atau tidak itu sebuah proses, perjuangan, kehendak untuk mau melangkah dalam tapak-tapak sederhana, tidak semata-mata mau goal atau menjadi sesuatu terlebih dulu. Keberanian menjalani dan menekuni proses ini sangat penting. Bagaimana mereka menuju kepada tujuan itu.

Hasil dari tujuan itu konsekuensi logis atas perjuangan. Maka ada yang mengatakan hasil tidak akan menghianati proses.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan