Aremania Somasi Jokowi Minta Maaf

Ikut prihatin dan berduka untuk para korban kerusuhan Stadion Kanjuruhan dan juga para keluarga. Memilukan, namun menjadi menjengkelkan, kala makin hari cenderung unsur politis semakin kentara. Aneh an lucu, penonton masuk lapangan, mengejar tim tamu yang menang, polisi merespons atas aksi itu dengan gas air mata.

Aksi dan reaksi. Ingat, penonton masuk lapangan dan melakukan kekerasan ini point utamanya. Benar bahwa gas air mata tidak boleh oleh standar FIFA, tapi apakah standar federasi sepak bola internasional itu pasti benar dan terbaik dengan kondisi masing-masing negara anggota?

Bagaimana bisa warga Indonesia yang makan steak saja minta nasi, mie instan dengan nasi, orang yang dikit-dikit ngamuk, beringas, tidak mau bertanggung jawab, suka menuding, dan berjiwa teriak dulu baru mikir diajak berpikir soal kesadaran.  Mereka masuk lapangan itu juga melanggar ketentuan FIFA, jangan dilupakan dan fokus pada kesalahan pihak lain. Apalagi overkapasitas stadion seolah-olah hal yang benar malahan.

Sudah bukan zamannya sebenarnya polisi, tentara, dan pemerintah itu terlibat dalam gelaran sepak bola.    Klub dengan federasi yang mempersiapkan segala sesuatunya, keamanan, sarana prasarana, dan juga mekanisme dalam menjaga ketertiban. Klub biar dewasa, bahwa polisi dan mungkin militer membantu itu hanya cadangan dan berjaga-jaga.

Makin hari tidak makin memperlihatkan sikap ksatria, namun malah mau menyudutkan pihak lain. Lebih aneh lagi ketika kelebihan penonton dan penonton masuk lapangan malah tidak menjadi pembahasan, malah mendesak Kapolda Jatim mundur, dan kini malah Jokowi minta maaf, kog  jauh lebih mengarah ke politis dari kerusuhan penonton sepak bola.

Aremania merasa diri baik-baik saja, pihak lain  adalah pelaku kejahatan yang harus bertanggung jawab. Padahal sebagai “organisasi” penonton, justru merekalah yang harus dan paling bertanggung jawab. Bagaimana ini malah merasa diri benar dan pihak yang sama sekali tidak berkaitan malah kudu  menanggungnya.

Bisa jadi korban itu bukan pelaku rusuh. Benar, tapi yang masuk lapangan, yang membakar mobil polisi kudu bertanggung jawab dan dipidana, minimal menggantikan mobil yang dibakar dan dirusak? Berani tidak.

Hari-hari sebelumnya media sosial viral mengenai IQ rata-rata orang Indonesia 78.8. Masuk kategori  bawah standar.  Lha kog mendapatkan sebuah pembuktian bagaimana sikap orang yang cerdas dan bebal terpampang gamblang.

Sikap bertanggung jawab dan ksatria itu hanya mungkin karena cerdas. Orang bebal biasanya mungkir, menuding pihak lain, caci maki, dan merasa diri paling benar. Susah   mengharapkan kesadaran dari mutu pola pikir dan kemampuan dasar seperti ini.

Menerima kekalahan dan kesalahan sebagai bagian utuh atas peristiwa hidup. Tidak malah ngamuk dan  merusak. Kekerasan, perusak, dan juga memaksakan kehendak memperlihatkan kebiadaban, berkaitan dengan kemampuan otak yang tidak tinggi, sekadar instingtif.

Senggol bacok, lagi-lagi ini kan sikap primitif, kudu menang, pokok e kudu, bukan pemikiran dewasa, cerdas, dan demokratis. Bar-bar dan primitif, maaf identik dan dekat dengan hewan bukan?

Perlu banyak belajar dan mengembangkan diri, sehingga otak, hati, dan emosi bisa stabil. Reaktif dan mudah ngamuk jelas memperlihatkan kebodohan.

Salam penuh kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply