Cak Nun Kesambet Jokowi Firaun

Mengatakan Jokowi sebagai Firaun dan negara dikuasai  penguasa Mesir kuno itu Bersama dengan 10 naga, menyangkut etnis tertentu. Kini, ia, Cak Nun atau Emha Ainun Najib mengaku lagi kesambet ketika bicara itu.

Beberapa hal menarik layak dicermati lebih dalam lagi adalah sebagai berikut;

Pertama, Firaun itu bukan pribadi, namun suatu wangsa, jadi sesat pikir ketika Jokowi dipersamakan dengan Firaun. Pemahaman yang mau memaksakan kehendak bahwa Jokowi itu jahat, buruk, dan penindas.

Kedua, negara ini sedang dalam masa pemulihan usai pandemic yang dialami secara global. Apa sih salah pemerintah, Jokowi, dan 10 naga, etnis tertentu dibawa-bawa? Apa yang sudah Cak Nun dan kawan-kawan lakukan selama ini bagi negara?

Ketiga, ranah yang sangat berbeda namun memaksakan diri, mengaku budayawan, agamawan, namun ribet dan ribut mengenai politik terus. Bicaralah pada ranahnya, jadi, tidak belepotan. Malah kini mengaku kesambet segala.

Keempat, kesambet, namun mengaitkan ujian dari Allah. Lha malah memfitnah Allah, coba orang lain yang    mengatakan itu, atau Jokowi, Luhut, atau Ahok, apa yang akan terjadi? Demo berjilid-jilid. Ini sih bukan kesambet, namun munafik dan enggan bertanggung jawab,

Kelima, malah tidak terdengar kutukan untuk Enembe, perusak Jakarta, atau presiden yang puluhan tahun menggarong dan merampok negeri ini. Mosok baru lahir, kan tidak, ia sudah menjelang senja malah.

Tidak pernah juga terdengar ia  mengutuk Hambalang, atau tetangganya yang tenggelam, Lapindo.  Budayawan, agamawan kog tidak adil sih? Jika ia konsisten semua pejabat negara yang tamak, maling, garong dikutuk, saya angkat topi.

Aneh dan lucu, mengapa yang bekerja keras, diakui dunia, eh dihujat  demikian keji.  Perlu dilihat lagi, ini kesambet atau seret doit e?

Keenam,   mengapa begitu keji, penghinaan yang diterakan kepada Jokowi? Karena mereka, kelompok-kelompok yang sudah biasa meraja lela, barisan sakit hati, oposan, dan politikus minim prestasi memang sengaja begitu.

Ada penegakan hukum plan selanjutnya bicara, antiagama, antiulama, dan seterusnya. Gamangnya menghadapi perilaku bar-bar selama kurang lebih delapan tahun membuat mereka arogan, umpak-umpakan, dan seenaknya sendiri.

Ketujuh, penegakan hukum yang lemah, karena takut dengan desakan massa, ingat kasus penistaan agama selalu kelompok kecil kalah, yang gede seenaknya sendiri telah menjadi tabiat peradilan dan penegakan hukum di negeri ini. Perilaku demikian akan selalu terulang.

Kedelapan, desas-desus mengatakan, bahwa Barat ada di balik ultrakanan yang memusuhi pemerintahnya sendiri. Beberapa indikasi kog mengarah benar. Ada rusuh di pabrik nikel, ada peryataan jika pemerintah tidak usah ikut campur penggantinya, dan seterusnya.

Kesembilan, susah melihat negara ini maju, menghajar pekerja, dan mendiamkan pejabat maling, tamak, rakus, dan tidak menjalankan kewajibannya, benarkah model demikian itu budayawan, agamawan yang sebenarnya?

Kritik itu boleh, bahkan harus, asal juga memiliki dasar, bukan sekadar asal jeplak dan merasa diri paling benar, pihak lain pasti salah dan buruk. Belum lagi penggunakan terminology agama dalam kancah politik.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply