212, JK, Ahok, dan Nasrudin Hoja

Nasrudin Hoja dalam salah satu kisahnya menuliskan kisah. Suatu hari ada 10 orang buta mau menyeberang sungai. Mereka minta bantuan Nasrudin. Kesepakatan per orang membayar satu dinar. Semua pada awalnya berjalan lancar, sembilan mendarat dengan sukses.

Tinggal seorang, Nasrudin optimis 10 dinar bisa ia kantongin. Ekspektasinya tidak berjalan mulus. Orang kesepuluh ini ternyata berbeda dengan kesembilan kawannya. Instruksi Nasrudin dilakukan berbeda. Ketika diminta melangkah ke kanan, ia malah ke kiri. Melompat, malah ia melangkah, dan seterusnya.

Akhirnya orang terakhir ini terbawa arus. Teriakan minta tolong dan kecipak air yang lebih gede, pun suara panik Nasrudin membuat kesembilan orang itu berteriak. Ada apa? Nasrudin dengan  cepat menguasai keadaan. “Aku kehilangan satu dinarku”, jawabnya.

“Ohh syukurlah, kalau hanya uang….” kata orang-orang itu kena pedaya Nasrudin.

Benar, bahwa Nasrudin kehilangan satu dinar, namun lebih berharga adalah kehilangan satu orang yang hanyut. Nasrudin memilih kebenaran yang tidak hakiki, seolah secara logis itu benar, ya memang betul, namun tidak tepat. Bener nanging ora pener.

Hari ini, konon akan ada demo di TMII, reuni aksi 212. Hal yang sangat membosankan karena itu-itu saja laku yang dijalankan orang-orang masa lalu yang maunya naik kekuasaan dan mengubah kebijakan Jokowi yang mencekik mereka. Biasa nggarong  tetapi kini mati kutu.

Salah satu yang jauh lebih menarik adalah pernyataan JK, yang menyoal Ahoker. Ia mengatakan, para pendukung Ahok, Ahoker masih marah dan belum terima Ahok  kalah. JK tentu saja paham, dia bukan orang bodoh, namun  pola pikir Nasrudin itu yang ia pakai.

Publik, termasuk JK juga paham, kejengkelan pendukung Ahok tentu bukan kalahnya, namun cara kalah yang tidak beradab. Namun mengapa JK mau mempermalukan diri dengan tampil seolah secengoh itu?

Ia mau menyasar publik yang menang, sehingga mereka tetap bergelora bahwa pernah menang. Pihak Ahoker sudah dengan hidup yang terus berlanjut, mengawal kisah demokrasi yang baru. Kepentingan JK adalah menyalakan api perselisihan dan kebencian yang ada pada para pengusung identitas.

Pengulangan yang sangat usang itu penting bagi JK, namun tidak dengan para pelaku politik yang cerdas, bermartabat, dan siap kalah dan tentu saja siap menang. Hal yang JK dan kawan-kawan tidak mampu menjadikan itu sebagai bagian hidupnya.

Apalagi jika bicara bisnis, yang sejatinya adalah menggarong, karena bandit demokrasi yang mereka kangkangi. Siapa sih yang ada di sana? Publik tentu paham, masa lalu, ada Cendana, Cikeas, dan mafia garong kekayaan negeri yang kelaparan.

Sejatinya mereka ini bukan pelaku bisnis, namun garong yang tidak mampu bersaing, baik secara bisnis, ataupun politik. Nah, mereka selalu saja ribut dengan dema-demo saja. Berkali-kali satu tahun hanya mengumbar egoisme orang-orang tua bak bayi gede.

Ahok hebat, masih menjadi senjata dan momok bagi politikus sekaliber JK, yang sudah dua kali menjadi wakil presiden. Ternyata kalah       dengan orang yang jauh lebih muda, dan hanya sekelas gubernur.

Jabatan kalah tinggi, namun sebagai pribadi bermutu, JK kalah telak. Apa ia tidak paham, pasti tahu, menutup malunya, ia mengungkit peristiwa lampau lagi. Memalukan.

Model JK itu akan selalu ada dan biasanya malah awet. Eh yang bekerja baik, benar, dan tulus, malah cepet hilang. Miris.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply