Puan antara Tahu Diri atau Ngarep?

Usai Megawati banyak bicara keras dan cenderung bias, di HUT PDI-Perjuangan ke-50, kini Puan, puterinya mengatakan dua hal yang sama-sama sumirnya. Pertama ia mengatakan jika capres partai PDI-Perjuangan tidak harus dirinya.

Pada pemberitaan lain, ia mengatakan sudah bekerja keras, namun masih banyak yang tidak suka. Apa benar demikian?

Apa sih yang sudah Puan lakukan? Ini era  keterbukaan, bandingkan dengan Risma, Retno Marsudi, Sri Mulyani, atau Jokowi Ahok. Semua terukur, terpampang bukan klaim sepihak. Puan ini termasuk muda sebenarnya, namun ternyata pola pikirnya ala-ala generasi tua, mengeluh, merasa sudah berbuat, dan sejenisnya.

Apresiasi itu bukan soal suka atau tidak. Tetapi apa yang sudah dicapai, jika itu luar biasa pasti akan mendapatkan sambutan hangat. Contoh sederhana, buat itu lembaga dewan bermutu. Paling sepele, mengenai absensi. Lha sama saja kog dia ketua atau bukan. Mungkin tanpa ketua juga tidak masalah.

Menanggapi isu-isu strategis dengan sangat cerdas. Toh selama ini tidak ada. Apa yang dilakukan itu hanya sebuah rutinitas. Tanpa gebrakan. Jika lahir era masa lalu, sebelum Jokowi Ahok menasional, mungkin Puan ini akan eksis dan sudah memegang jabatan apapun yang ia inginkan.

Tim politiknya perlu bekerja keras memberikan masukan yang berdampak besar, bukan hanya inggah inggih, namun malah membuat Puan bahan tertawaan. Mulai baliho, menanam padi, dan banyak aksinya tidak menambah simpati.

Publik ini bukan tidak suka, namun memangnya mengerjakan apa sih? Bedakan suka-tidak, atau mempertanyakan. Lha sepele begini saja tidak mampu lho, lak blais mengelola negara.

Tahu diri. Ketika ia mengatakan, capres tidak harus dirinya. Ini benar, jika mau modern, demokrasi, ya sepanjang mumpuni, rakyat suka, maju. Tidak berkaitan dengan siapa nenek atau kakek moyangmu, atau ketua partainya siapa.

Melihat gelagatnya sih, Puan ini antara tahu diri, tapi masih juga pengin. Belum lagi loyalisnya yang mengatakan hal-hal yang menyenangkan, bukan kebenaran yang ada di masyarakat. Faksi model   ini yang malah membuat keadaan tidak karuan.

Presiden, apalagi usai Jokowi ini sangat tidak mudah. Aksi intoleransi dan pengasong ideologi ultrakanan masih sangat kuat. Tidak hati-hati bisa berabe. Jokowi saja keteteran, karena sudah meruyak ke mana-mana, merasuk di semua lini.  Mereka sudah banyak berharap dan akan menang, ketika kena gebug oleh pemerintahan ini, mereka memainkan cara yang berbeda.

Mosok Puan atau timnya tidak paham sih keadaan ini? Jelas tidak mungkin.

Terlalu banyak orang yang merasa bisa, dan juga terlalu banyak orang yang ingin menjadi presiden, gubernur, bupati, namun tidak mau menjadi pelayan, pekerja keras dengan jabatan itu. Visi-misinya tidak ada, selain cita-cita menjadi sesuatu itu. Mau apa dengan jabatannya, tidak tahu.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply