Festival Makanan Nonhalal, Solo, Intoleransi, dan Gibran
Festival Makanan Nonhalal, Solo, Intoleransi, dan Gibran
Menarik apa yang terjadi di Solo, adanya festival makanan nonhalal di sebuah pusat perbelanjaan yang sempat dibubarkan bisa berlangsung. Intervensi walikota dan wapres terpilih yang membuat acara yang sempat terhalang itu bisa terjadi. Hal yang menarik adalah, Kawasan Solo itu banyak warung tenda di mana-mana menyajikan perdagangan babi. Dulu anjing sangat terbuka. Tidak ada masalah.
Lha di pusat perbelanjaan yang sangat terbatas kog ada yang membubarkan. Apa selama ini mereka ngantuk sehingga tidak melihat di mana-mana ada warung babi yang selalu saja ramai pengunjung? Lucu saja menyaksikan pembicaraan dan pemberitaan hal tersebut.
Di pusat perbelanjaan di sekitar sana juga ada tenan atau warung yang memang menyediakan masakan nonhalal, juga biasa saja. Bertahun-tahun bisa berdagang dengan aman.
Hal tersebut sejatinya sangat tidak penting. Jauh lebih utama dan mendesak adalah mengusut siapa di balik aksi intoleran yang dengan mudah mengalahkan Polisi dan Pol PP itu. Mengapa penting?
Pertama, senada dengan pembubaran ibadat di mana-mana, pelakunya bisa melenggang dengan leluasa. Hal yang membuat wibawa aparat menurun. Perda itu urusan Pol PP dan UU itu bagian keamanan berarti Polri di sana. Ini ormas, kadang juga bukan siapa-siapa namun bisa melakukan aksi seenaknya sendiri.
Wibawa pemerintah dan aparat penegak hukum dipertaruhkan. Ketika ormas dan oknum-oknum dengan berbagai latar belakang bisa berlaku dan menjadi polisi, jaksa, dan hakim sekaligus. Kog aparat yang memegang amanat UU malah diam. Aneh dan lucu.
Kedua. Pembiaran yang berkali ulang. Senada dengan pembubaran ibadat, menutup jalan atas nama kegiatan keagamaan. Lagi-lagi aparat jerih menghadapi mereka. Akhirnya ngelunjak dan merasa di atas hukum. Mereka menjadi penegak hukum rimba dan kebenaran adalah mereka itu. Hukum untuk ap ajika demikian?
Ketiga. Hukum begitu banyak dibuat. UU, perda, aturan sampai ke pelosok bisa dibuat dan itu ada, bua tapa ketika kalah dengan preman berkedok agama alias ormas dengan jubah agama. Negara selalu saja kalah dengan dalih agama.
Keempat, entah mengapa aksi ugal-ugalan ormas ini selalu saja ada dan berhasil. Aneh luar biasa. Asal berlabelkan agama selalu di atas hukum. Perlu kesadaran Bersama negara ini berazas Pancasila, bukan agama.
Kelima. Sikap permisif, bahkan penakut dari beberapa pihak. Contoh, mengatasnamakan toleransi, atau mengatakan berilah penghormatan. Toleransi, penghormatan itu ada ketersalingan. Sepanjang orang salah satunya merasa lebih, di atas yang lain. Toleransi dan penghormatan itu tidak terjadi. Adanya pemaksaan dengan dalih kata-kata kesalehan. Omong kosong sejatinya.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan