Sultan: yang Salah Gurunya, Setuju Banget

Kisah pemaksaan jilbab pada siswi sebuah SMA di Jogya mendapat tanggapan dari Sri Sultan selaku penanggung jawab SMA, sekaligus pemuka agama. Gurunya yang salah, pindah, bukan muridnya yang dipindahkan sekolahnya. Memindahkan anak didik tidak menyelesaikan masalah.

Sepakat, menyelesaikan masalah, bukan hanya mengalihkan persoalan. Tidak seperti biasanya, menyelesaikan masalah dengan masalah baru. Pemindahan murid sama sekali bukan solusi. Bisa jadi malah menyingkirkan bom waktu ke tempat yang lebih ramai.

Perjuangan ideologis ini belum selesai. Pembubaran HTI dan menjadikannya ormas terlarang, tanpa ada  pidana bagi yang melakukan kampanye terselubung ya akan sama saja. Pemidaan apalagi pembinaan, tidak ada sama sekali. Lihat saja di media sosial, mereka ini, kelompok yang memaksakan kehendak dan intoleran rata-rata pejuang ideologi ultrakanan.

Susah, karena ketika akan ditindak tegas mereka akan menggaungkan antiagama, islamophobia, dan sejenisnya. Simalakama, karena stabilitas politik sangat rentan dengan narasi agamis. Literasi anak negeri ini sangat lemah, apalagi  menyangkut agama.

Kedewasaan beragama masih rendah. Malah cenderung kekanakkanakan. Dikit-dikit penistaan, pencemaran, dan penghinaan agama. Ada memang sekelompok orang dan pihak yang menggunakan cara ini untuk mendapatkan keuntungan.

Sikap Sultan HB X ini sangat bagus. Anak sama sekali tidak bersalah, mengapa “dihukum” jika harus pindah. Masalah ada pada guru. Seragam itu bisa memilih kog, mengapa dipaksa untuk sama. Keliru yang memaksa. Jika anak yang dipindah, membiarkan guru berlaku sewenang-wenang.

Negara demokrasi yang kadang malah ngaco. Yang salah bebas, yang benar malah mendapatkan hukuman. Pembiaran selama ini menjadikan orang menjadi semakin kolokan dan ngaco dalam bersikap.

Lihat saja bagaimana penistaan, pencemaran agama, jika pelakunya mayoritas pasti aman dengan meterai atau maaf saja. Berbeda dengan pelaku kelompok kecil pada agama gede, janga harap bisa melenggang. Masalah gede yang seolah-olah dianggap biasa saja. Padahal negara NKRI berdasar Pancasila.

Perilaku intoleransi, bukan semata mengenai agama, namun juga diskriminasi pada anak berkebutuhan khusus, anak yang kurang mampu baik finansial ataupun intelektual, sangat biasa terjadi. Bagaimana bisa    mengaku pendidik, kurikulum merdeka pula.

Terima kasih Sultan, dunia pendidikan akan cerah jika pemimpinnya setegas dan sejelas ini dalam memandang masalah. harapannya bukan semata ungkapan dan ucapan semata, ada tindakan nyata dan perubahan yang signifikan dari lembaga terkait.

 

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

 

 

 

Leave a Reply