Kardinal Suharyo: Kami Menolak Pengelolaan Tambang, Meminta Hal yang Lebih Besar
Kardinal Suharyo: Kami Menolak Pengelolaan Tambang, Meminta Hal yang Lebih Besar
Beberapa saat lalu menyaksikan sebuah tayangan video wawancara Kompas dengan Mrg Ignasius Kardinal Suharyo, mengenai pengelolaan tambang. Beliau mengatakan dengan lugas, gamblang, dan tanpa tedeng aling-aling menolak tawaran itu.
Berbagai argumen dinyatakan sebagai alasan untuk mengatakan tidak. Paling mendasar adalah, bahwa Gereja Katolik tidak kompeten untuk mengurus tambang. Ormas seturut UU memiliki definisi yang cukup berbeda dengan pemahaman Gereja Katolik.

Jauh lebih penting adalah Kardinal mengatakan meminta hal yang lebih besar dari sekadar pengelolaan tambang. Si pewawancara menyatakan, “Apakah mengenai kemudahan izin pendirian rumah ibadah?”
Sedikit tertawa Kardinal Suharyo mengatakan dengan tegas,”Tidak!”
Apa yang Gereja Katolik melalui Uskup Agung Jakarta itu adalah, pemerintah hadir sebagaimana mestinya. Hal yang sangat mendasar, dalam, dan menohok. Orang dan ormas berlomba-lomba untuk memperoleh konsesi tambang, eh ini malah menolak. Mau yang lebih gede, dan ternyata mengenai peran pemerintah.
Pemerintah hadir sebagaimana mestinya semua masalah terselesaikan. Atas nama kesejahteraan ormas keagamaan ditawari mengelola tambang. Jika saja pemerintah taat seturut UUD bukan sekadar UU, namun Undang-undang Dasar yang menyatakan bahwa kekayaan negara dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kesejahteraan masyarakat, tentu tidak perlu ditawarkan kepada ormas keagamaan.
Faktanya selama ini hanya elit, baik pengusaha ataupun politikus yang bisa mengelola tambang. Malah ditambah dengan korupsi, suap, dan perampasan dari tangan masyarakat kecil, demi kepentingan elit. Apakah hal demikian yang akan dikelola oleh ormas berbasis agama?
Izin tambang versus izin rumah ibadah
Konsesi tambang seolah menjadi jalan ninja untuk nama baik pemeritah yang gagap dan gagal dalam menyentuh apalagi alih-alih menyelesaikan masalah. Bagaimana aksi dan gelontoran gagasan intoleransi dan kemerosotan ideologi Pancasila demikian menggurita saat ini. pemerintah gamang, takut dengan kelompok minoritas yang menglaim mayoritas, sehingga keder ketika mau menertibkan mereka.
Gagap karena ngeper akan dicap anti agama, penistaan pada agama mayoritas yang masih dipakai untuk kepentingan naik jabatan lagi. Hal demikian sering diabaikan petinggi-petinggi agama. Mereka tidak berani dengan jujur melihat bahwa negara tidak baik-baik saja karena elitnya keder dan tidak berlaku sebagaimana mestinya.
Pemerintah yang hadir bagi masyarakatnya, bukan untuk elit, kelompok, ataupun partainya. Hal yang masih terlalu jauh dari harapan. Sejahtera ketika pemimpinnya memikirkan warganya, bukan keluarganya. Sekian lama merdeka, pemimpin yang hadir semestinya, masih terlalu sedikit waktunya untuk bangsa dan negara.
Harapan tetap harus menyala. Pastinya suatu waktu akan ada pemimpin yang hadir tersebut.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan
