FEATURED

Kebencian Diajarkan, Cinta Kasih Alamiah

Kebencian Diajarkan, Cinta Kasih Alamiah

Beberapa pengalaman memberikan sebuah pembenaran atas asumsi bahwa kebencian itu diajarkan. Padahal pada hakikat atau kodratnya orang itu akan saling mengasihi, satu sama lain. Saat Paus Fransiskus meninggal, ungkapan dan ucapan duka begitu banyak. Toh terselip sedikit caci maki, ada pula penghakiman dengan menggunakan dogmatik agama sendiri.

Kisah berikut mau menceritakan bahwa didikan itu ada, bahkan dalam dunia pendidikan formal. Lumayan bonafid, dengan  indikator, bahwa sekolahnya mahal, banyak yang antarjemput pakai mobil, jarang yang menggunakan angkutan umum. Kawasannya kalua pas jam pulang atau masuk sekolah, dijamin macet. Bisa diperkirakan ini bukan sekolah biasa.

Kisah Pertama, teman sekolah dulu anak dan ponakannya sekolah berbasis agama. Mengapa anaknya dipindah ke negeri? Ternyata anaknya merasa tidak nyaman, benar kemandirian dan kemampuan akademik lebih dari teman bermainnya di rumah. Namun ia merasa prihatin karena ponakannya yang kelas atas sudah mulai mengatakan kafir, orang lain musuh, dan sejenisnya. Anaknya yang masih kelas bawah sudah mulai susah bermain dengan teman yang tidak sekolah yang sama.

Nilai baik dalam akademik, dan, agama, serta kemandirian bagi rekan saya itu tidak lebih baik, ketika membuat separasi dan pemisahan dalam pergaulan. Bisa berabe, ini kata teman yang tentu saja saya Bahasa ulangkan.

Awal-awal pindah sekolah memang terlihat canggung, gamang, dan bingung, namun terlihat anaknya lebih bahagia dan merdeka. Teman ini merasa bahwa pilihannya tepat dengan memindahkan anaknya dari sekolah lamanya.

Kedua. Anak begitu ramah melihat tetangganya, orang tuanya juga mengajari bahwa menyapa tetangga yang lewat. Bengok-bengok Bahasa Jawanya, memanggil untuk menyapa tetangga yang sedang melintas. Anak dan keluarga yang sangat baik dalam konteks hidup bertetangga. Aneh bin ajaib, ketika sudah bersekolah, malah jadi mundur. Melihat orang hanya penthelang-pentheleng, melotot dan sambil mengangkat dagu, padahal dulunya tidak begitu.

cinta dan benci

Berpapasan hanya melotot, tanpa mau menyapa, eh lah dalah, terkonfirmasi, bahwa sekolahnya tidak libur kala tanggal merah untuk hari raya yang tidak sama dengan basis agama sekolahnya. Luar biasa, tidak hanya cuti bersama, namun tanggal merah. Hanya Minggu mereka masih libur, pada saatnya nanti palingan juga Minggu masuk. Miris.

Tentu ini masih asumsi, namun ada dasarnya perubahan perilaku sebelum dan setelah sekolah. Berbeda serratus delapan puluh derajad. Dari mana asalnya? Jelas saja sekolahnya.

Ucapan Selamat hari Natal dan Tahun Baru dulu begitu biasa, kini menjadi masalah. Memang pernah ada fatwa yang menyebutkan itu sebagai tindakan haram. Meskipun masih banyak yang tidak menggubris itu. Toh hardikan di dalam media social sering membuat jerih.

Sama ketika ada ucapan duka cita, misalnya orang Muslim mendoakan mendiang yang Nonmuslim, atau sebaliknya pasti ada saja yang mengutuk, menasihati dengan bahasa halus hingga kasar. Ada juga yang mengomentari  bahwa itu kemanusiaan apa kaitannya dengan agama.

Apa iya sih Tuhan Allah Semesta Alam itu seoon itu? Lha jika yakin dan bahkan percaya, mengimani Tuhan Allah itu Esa, semua diciptakan oleh Allah yang sama, mosok ada yang disukai dan tidak disukai? Emang e Tuhan Allah itu kek bapak atau mak manusia yang memiliki model cinta demikian? Layak direnungkan jika tokoh agama mengajarkan hal yang demikian.

Tokohnya bukan Agamanya

Saya menggunakan tokoh agama, bukan mengenai agamanya. Keknya agama menebarkan kebaikan, tokohnya saja karena jualan kecap sehingga menilai yang lain lebih rendah. Orientasinya pada jumlah pengikut, apalagi model media sosial yang menjadikan pengikut sebagai jumlah uang yang bisa diperoleh.

Tokoh-tokoh ini biasanya menggunakan media sosial untuk mencari pengikut. Paling gampang ya menghujat yang lain dan menaikkan derajatnya sendiri dan kelompoknya, untuk mendapatkan pengikut yang akan menaikan uang yang bisa diperoleh. Lebih sering ngaco, karena sensasi yang dipakai untuk menaikkan pamornya.

Miris, jika tokoh agama berorientasi pada cuan. Kebenaran sangat mungkin menjadi barang mainan.

Salam Penuh Kasih     

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *