FEATURED

Yahya Waloni dan Umar Patek, Sebuah Kisah Kehidupan

Yahya Waloni dan Umar Patek, Sebuah Kisah Kehidupan

Kemarin membaca kisah hidup baru Umar Patek. Terpidana kasus terorisme internasional. Kepalanya dihargai sangat mahal oleh pemerintah USA. Ia mendekat bertahun-tahun di penjara di Indonesia, usai ditangkap pihak berwenang. Kini ia menjadi peramu kopi dengan nama Ramu, walikan ala Surabaya.

Dahlan Iskan mengisahkan perubahan radikal dari mantan napiter ini. Bombastis media menuliskannya dari peramu bom menjadi peracik kopi. Hal yang bisa dimengerti. Luar biasa perubahan yang sangat drastis. Menurut pemberitaan ia diajak  kerjasama oleh  orang yang dulunya adalah ‘dianggapnya’ musuh, yang harus diperangi.

Perubahan fundamental, berbalik arah itulah pertobatan. Umar menjadi merek ramu, sebuah walikan, kebalikan dari masa lalu menuju masa depan. Hal baik yang berdaya guna. Kemanusiaan adalah segalanya, di atas dogma pribadi.

Hal yang berbeda adalah kematian Yahya Waloni, ingat ini bukan menghakimi atas kepercayaan orang. Hanya mau melihat, bagaimana hidup yang berdampak, dan mati membawa sebuah kedamaian. Bagaimana almarhum Yahya Waloni dalam kotbah-kotbahnya cenderung provokatif dan mendeskreditkan agama lamanya. Jelas asumsinya demi cuan dan memelihara pengikutnya.

Konsep dalam Buddis sebagaimana dalam Buku Cacing dan Kotoran Kesayangannya Ajahn Bram menyatakan, bahwa jika orang masih mau memperlihatkan kemampuannya, keunggulannya, dan juga sesuatu yang di luar nalar sebagai sebuah prestasi, itu bukan sisi spiritualitas. Namun egoisme sendiri, membangun dan mewartakan kediriannya semata.

Nah, dalam sebuah tayangan video yang dilakukan, almarhum mengatakan, menantang, jika Yesus situ Tuhan, tentu ia akan mati. Toh beneran meninggal, dalam konteks usia, dan juga tanpa sakit yang mendahului, bisa jadi termakan kutukannya sendiri.

yahya waloni

Makanya bisa dimengerti ketika banyak pihak yang nyokorke, bukan mendoakan yang terbaik untuk almarhum. Ada separasi, satu sisi ia memuja agama barunya, pada pihak lain ia menghujat agama lamanya. Ketika ia mendapatkan sesuatu pastinya sama yang akan diterima. Hujatan di balik pujian sebagian pihak. Sayang,  bahwa dalam akhir hidup pun masih mendapatkan cacian, karena itu adalah buah dari perbuatannya sendiri.

Tentu bukan itu fokus dalam artikel ini, namun bagaimana hidup yang bermakna itu?

Satu, membawa damai. Dalam hidup ataupun matinya, banyak didoakan dalam kebaikan. Buah yang ia tabur dulu akan dituai yang sama. Lha kebaikan saja masih banyak yang mencibir, apalagi dalam pidatonya caci maki yang ada.

Dua, spiritualitas tidak akan membawa kebencian, yang ada adalah menemukan titik baik pada semua hal yang sedang dihadapi. Agama pastinya ada perbedaan di sana-sini, toh pastinya juga ada perbedaan. Pemersatunya adalah kemanusiaan. Nah, di sini pembedanya beragama dengan berkesadaran.

Tiga, berbalik arah, menuju pada kebaikan. Bagaimana bisa dianggap berkesadaran atau bijak jika menebarkan kebencian, permusuhan, merendahkan, bahkan sampai akhir hayat. Kapan menuju pada kebaikan yang hakiki, bagaimana mengatakan mengabdi pada Sang Pencipta namun menistakan ciptaan-Nya? Bisakah sekaligus terang dan gelap di tempat dan waktu yang sama?

Empat, pohon  itu dilihat dari buahnya. Mau menilai baik atau buruk dari apa yang dihasilkan, pro dan kontra itu wajar, namun bagaimana dominasi apa yang terlihat itu penting.

Hidup yang berdampak baik itu perlu perjuangan.  Fokus pada kebaikan, uang dan kehormatan itu bonus, sampingan. Penghargaan akan kemanusiaan itu ciri   beriman mendalam, bukan yang dangkal.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *