FEATURED

Kekanak-kanakan, Lepas Tanggung Jawab, dan Egoisme, Belajar dari Ironi Rendang di Palembang

Kekanak-kanakan, Lepas Tanggung Jawab, dan Egoisme, Belajar dari Ironi Rendang di Palembang

Di kota Palembang, baru saja terjadi kehebohan berkaitan dengan rendang. Kisah awalnya ada selegram yang membuat konten memasak masakan khas Padang dan hendak dibagikan. Sayang, bahwa apa yang dirancang tidak sebagaimana akhirnya. Daging itu habis ketika ditinggal ke toilet. Masakan mentah itu “dijarah.” Pihak-pihak tertentu tidak terima dan malah “menghukum” si penyelenggara untuk tidak boleh lagi datang  ke kota Musi itu.

Demi memperbaiki “keadaan” dan nama baik. Tentu saja juga mau menekankan, bahwa “hukuman” yang diterima si pengada acara itu benar, diadakanlah acara yang lebih resmi dan maunya tertib. Ujung acaranya sama saja, semua “dijarah” habis tidak tersisa. Si “penghukum” diam saja, tidak ada lagi kutukan dan larangan  bagi pelaku acara yang baru, apalagi melibatkan pihak-pihak terkait secara resmi.

Apa yang laik kita ulik lebih dalam dari kasus ini?

Kekanak-kanakan, bagaimana sikap rebutan, penjarahan, dan juga tidak mau antri ini sikap kanak-kanak. Ketidakdewasaan dalam menunggu memasak rendang itu bisa berjam-jam, tentu saja untuk mendapatkan rasa enak dan matang sempurna. Jika dewasa, dan pasti dapat jatah, akan berpikir, toh nanti juga dapat jatahnya. Rezeki tidak akan ke mana.

Menjatuhkan “hukuman” merasa bahwa si pelaku tidak sopan dan merendahkan warga kota itu. Padahal sama sekali tidak ada maksud itu. Tafsir kanak-kanak dan jauh dari yang semestinya. Hanya kanak-kanak yang bisa berpikir demikian.

Sikap lepas tanggung jawab. Penghukum kog kini diam saja, kemarin merasa benar, bahwa warganya baik, tertib, dan taat aturan. Toh tidak terbukti. Kini diam saja. Di mana tanggung jawabnya? Karena mereka sudah berasumsi dan salah, tidak bersikap untuk memperbaiki keadaan. Jika mereka bertanggung jawab, mereka akan merevisi yang dulu dan memperbaiki nama baik dan mengakui bahwa warganya memang ‘memalukan.”

Egoisme, mau warganya, mau pemimpin yang menghukum si pelaku masak gedhen itu. Warga yang egois hanya memikirkan apa yang menjadi kepentingannya. Mereka berorientasi dapat rendang atau daging saja, tidak berpikir tentang orang lain, bisa jadi tidak kebagian. Membahayakan pihak lain, misalnya wajannya tumpah, ada kompor, atau mempermalukan si penyelenggara, apalagi sampai dikutuk tidak boleh datang lagi ke Palembang. Semua diam saja, seolah-olah tidak ada masalah.

Si penghukum, lah warganya yang memang tidak tertib kog, menghukum penyelenggara. Kini, kejadian terulang, kog tidak melakukan perbaikan untuk hukumannya, dan penyelenggara kedua tidak dihukum juga. Jika mereka tidak egois, pasti sikapnya tidak seperti ini.

Sikap pihak lain yang salah, selalu saja terjadi di negeri ini. Tidak pernah menyelesaikan masalah, yang ada menambah masalah. Jujur, terbuka, mengakui kesalahan, tidak mencari-cari kesalahan, apalagi menimpakan kesalahan pada pihak lain, tentu lebih bijaksana dan dewasa.  Hal yang terlalu jauh dari harapan. Padahal mengaku religious, agamis, dan selalu mengedepankan kata-kata suci dalam aktivitasnya. Eh daging saja dijarah.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *