Kekerasan Seksual di Kalangan Terdidik
Kekerasan Seksual di Kalangan Terdidik
Tahun kemarin mendampingi anak-anak sekolah dasar dalam bina mental dan iman. Pendalaman materi membuktikan bahwa anak-anak akhir SD ini hampir semua sudah memiliki “koleksi” film porno dalam galeri gadget mereka. Pandemi memang membuat semua serba susah, pendidikan dengan HP membuat semua langsung ke anak, tanpa filter.
Kedua, ketika dokter calon spesialis memperkosa keluarga pasien di rumah sakit tempatnya magang. Konon bukan hanya satu korbannya. Tindakan pidana dan pemecatan cepat dilakukan.
Mengapa kira-kira bisa seperti ini?
Pertama, bicara seksual itu tabu-saru, sehingga malah menjadikan anak-anak, jelas berdampak pada masa tua para mantan anak ini. Belajar tidak pada ahlinya, namun mencaeri-cari sendiri, dan cenderung banyak informasi tidak sehat yang mereka peroleh dan akhirnya mereka pahami.
Kedua, pemahaman yang salah menjadikan mereka tidak bertanggung jawab akan anugerah Sang Pencipta yang begitu agung, seksualitas manusia. Pengelolaan yang keliru, apalagi ditingkahi dengan dogma kolot yang tidak menambah pengetahuan yang semestinya.
Ketiga, memperlihatkan bahwa religiusitas berbangsa negeri ini masih jauh dari yang semestinya. Idealnya, pembicaraan dan apapun biasa dikaitkan dengan agama, lha ini memerkosa, melecehkan, dan kekerasan seksual seolah biasa saja.
Keempat, penghargaan akan kemanusiaan yang rendah. Hal ini karena memang demikian yang dipahami, dihayati, dan dihidupi oleh sebagian masyarakat kita. Relasi kuasa, feodalistik, masih demikian kuat. Jika berbicara manusia itu sama, tentu tidak akan memiliki kehendak untuk menyakiti dan merendahkan seperti kekerasan seksual ini.
Kelima, ketidaksehatan mental masyarakat yang sedang tidak baik-baik saja. Lihat saja maling berdasi merajalela, tanpa penegakkan hukum yang tidak jelas. Mereka masih mendapatkan penghargaan dan penghormatan. Padahal sudah serendah hewan.
Keenam, pentingnya Pendidikan seksualitas, sehingga penghargaan akan seksualitas dan kemanusiaan membaik. Jangan bicara mengenai itu instingtif, hal tersebut memperlihatkan bahwa memahami seksualitas dengan buruk. Mendidik seksualitas berarti juga membina kemanusiaan.
Ketujuh, penegakan hukum yang buruk. Katanya mau menghukum kebiri atau sejenisnya, toh sekadar wacana. Akhirnya keadaan itu akan terus terulang. Jangan sampai akan lahir generasi-generasi baru yang tidak dikehendaki, dan itu ngeri dampaknya.
Apakah akan terus terulang hal demikian? Miris.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan
Joss