Ketua RW Arogan, Ikutin Ormas, dan Pejabat

Ketua RW Arogan, Ikutin Ormas, dan Pejabat

Miris, usai viral anggota ormas yang arogan dengan perilakunya, malak, dan ada yang merasa benar, kini ada ketua RW yang berperilaku demikian. Meminta iuran atas nama keamanan untuk sekolah yang mencapai puluhan juta per bulan. Prof. Rhenald Kasali mengatakan, jika iuran itu akan membuat guru tidak bisa mendapatkan kenaikan gaji. Lebih menarik lagi, kog galakan yang minta iuran dari pada yang membayar.

Hal yang sangat menarik untuk diulik lebih lanjut.

Pertama, yang malak itu begitu arogan, galak, dan sangar. Lihat saja, termasuk yang salah, mau berseragam atau tidak. Iihat kini ketua RW   saja bisa begitu. Identic juga dengan para pembubar ibadah minoritas. Sama persis, galak, nanti mlempem pas di depan penegak hukum.

Kedua. Penyelesaian yang terus terulang dengan atas nama damai, tidak memperpanjang urusan, salah paham, dan seterusnya. Namun ini bom waktu, bak bola salju yang akan menggelinding dan menjadi besar. Wong penyelesaian yang begitu-begitu saja terus, membuat keadaan selalu saja terjadi lagi dan lagi.

Ketiga,  contoh, perilaku ini terus saja terjadi karena ada contoh, keteladanan dan memberikan inspirasi dalam hal yang buruk. Toh nanti juga hanya meterai cemban atau malah cukup dengan permintaan maaf, salah paham sudah diselesaikan. Hal yang membosankan bagi yang ada pada pihak lemah.

Keempat, masing-masing pribadi sekarang ini pada ugal-ugalan dalam menafsirkan peraturan, bahkan membuat aturan sendiri. Lagi dan lagi ini terjadi karena sama persis dengan poin di atas. Diberi contoh oleh pejabat, pesohor, dan media bahwa membuat aturan itu bisa seenaknya sendiri. Kepergok atau mentok, minta maaf, salah paham, selesai.

Kelima, pembiaran dan permisif pada hal-hal buruk. Jadinya akan dianggap benar. Suka atau tidak, bangs aini terlalu kenakan-kanakan dalam hidup bersama. Lihat saja bagaimana  modelnya siapa kuat dia dapat. Paling sederhana, budaya antri saja susahnya minta ampun.  Padahal hal sepele, karena ego yang gede, yang sudah. Childish yang mengemuka.

Keenam, bua tapa UU, pasal-pasal, ketika semua masalah diselesaikan dengan maaf atau salah komunikasi atau salah paham? Omong kosong atas nama agama dengan dalih memaafkan.  Hal yang harus dihentikan. Ada pasalnya ya sudah terapkan saja.

Apa iya akan jadi hukum rimba di negeri ini? Semua bisa menafsirkan sendiri atas aturan, bahkan membuat aturan sendiri.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan