Korupsi Tidak Kenal Partai

Korupsi Tidak Kenal Partai

Baru saja ada penangkapan kasus korupsi oleh Kejaksaan Agung terhadap salah satu anggota BPK. Cukup menarik adalah latar belakang oknum tersebut berasal dari salah satu partai yang berposisi oposan. Suka atau tidak suka BPK itu adalah non partisan. Mereka profesional dalam bidang keuangan, tapi toh faktualnya hampir semua berasal dari bekas anggota dewan.

Kita tengok ke belakang  beberapa tahun yang lalu ketika Ahok berseteru dengan pihak BPK , bagaimana kinerja BPK itu tidak semestinya. Kisah-kisah yang senada juga terdengar. Bagaimana kepala-kepala daerah atau gubernur provinsi kabupaten kota mendapatkan predikat WTP dari BPK namun terindikasi bahkan terpidana kasus korupsi.

Selama ini KPK, Kejaksaan Agung, kepolisian selalu mendapatkan kecaman sebagai biang kerok maling berdasi ini, padahal BPK juga berperan penting ketika auditor mereka tidak menjalankan peran dengan semestinya.

BPK itu berperan sebagai panglima tertinggi dalam pengawasan anggaran negara, namun bagaimana itu bisa terjadi ketika kisah-kisah di atas tersebut masih terulang. Kemana ICW, MAKI, dan LSM-LSM Anti Korupsi itu melihat kinerja  BPK selama ini.

Lebih memilukan lagi ketika salah anggota BPK itu tertangkap kasus korupsi, padahal afiliasi politiknya berbeda dengan partai dan koalisi yang berkuasa. Demokrat, latar belakang si terduga ini, bersama tersangka adalah kader Nasdem. Mereka pada posisi yang berseberangan.

Jika selama ini korupsi biasa dilakukan oleh penguasa, atau lingkaran eksekutif dan legeslatif dalam naungan partai koalisi pemerintah. Namun, kali ini hal terbantahkan, termentahkan, bahwa dari partai luar pemerintahan pun ikut terlibat dalam hal pat gulipat menyalahgunakan anggaran.

Miris, ketika lembaga yang seharusnya adalah punggawa atas perilaku korup namun malah terlibat dalam penyalahgunaan anggaran, maling uang rakyat, dan tidak mau tahu tentang keprihatinan negara.  Mengapa itu bisa terjadi?

Penggunaan uang untuk bisa menjadi apapun di negeri ini. Seleksi, naik jabatan, semua bisa dibeli. Penggunaan uang dan transaksi  ini yang membuat korupsi makin marak. Mau tidak mau mereka akan mencari modal kembali, bahkan dengan keuntungannya.

Parpol biang masalah negeri ini. Suka atau tidak, merekalah yang  menentukan siapapun di lembaga-lembaga negara. Padahal mereka sendiri tidak cukup kompeten, karena mereka juga menggunakan uang untuk bisa menjadi anggota dewan.

Pendidikan, bagaimana lembaga pendidikan pun tidak kalah gawatnya dengan kasus korupsi. Kedisplinan yang makin rendah di sekolah, membuat korupsi juga makin permisif. Belum lagi pungutan-pungutan di sekolah.

Jelas, penegakkan hukum sangat rendah bagi koruptor, sehingga efek jera makin tidak menakutkan. Apalagi, mereka masih dianggap pahlawan oleh partainya. Wajar penolakan RUU Penyitaan Aset itu oleh dewan dan elit partai.

Menambah daftar panjang maling berdasi dari parpol. Meski sudah bersalin baju, toh sikap mentalnya masih sama. Sekali maling ya tetap maling.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan