Misa Paus, Adzan Magrib, dan Jusuf Kalla

Misa Paus, Adzan Magrib, dan Jusuf Kalla

Ada-ada saja, ketika Kemenag dan Kominfo memberikan himbauan saat Misa bersama paus, televisi di  Indonesia menggantikan siara adzan magrib dengan running teks. MUI yang sering kalap dengan toleransi, kali ini sepakat. Tidak ada yang dilanggar dengan cara itu. Salut,  tumben berfikir demikian, tidak biasa-biasanya begitu.

Dua ormas terbesar keagamaan di Nusantara, NU dan Muhamadiyah pun senada. Semua sepakat dengan himbauan dua kementerian tersebut. Hanya satu yang nyleneh, Jusuf Kalla, mantan wakil presiden dua kali itu, meminta televisi untuk dibagi dua layarnya, satu Misa, satunya siaran adzan sebagaimana biasanya.

Pertanyaannya adalah,

Pertama, apa sih urgensi adzan magrib, ketika di rumah-rumah, masjid-masjid juga sudah ada adzan. Sekali seumur hidup saja mengalah untuk    orang lain apa salahnya? Coba jika dibalik, berapa juta kali pemeluk agama lain harus “mengalah” dan terjeda keasyikannya dengan adanya adzan magrib? Tentu hal ini sangat naif, ecek-ecek, dan kekanak-kanakan.

Kedua, adzan adalah panggilan. Kala itu tercipta penggunaan pengeras karena perlu memanggil orang dari sangat jauh, lha kini, 100 meter saja sudah ada masjid lagi. Apanya yang perlu dipanggil keras-keras dengan toa dan televisi?

Ketiga, sholat kan lima kali sehari, toh waktu-waktu lain juga tidak ada kewajiban televisi dengan aktivitas siaran langsung adzan sebagaimana waktu sholat magrib. Artnya tidak ada juga tidak menjad persoalan.

Keempat, kalau tidak salah, setiap siaran langsung seperti sepak bola juga tidak ada adzan magrib, sama dengan poin ketiga, berarti tidak ada masalah.  Mengapa pas   Misa televisi kudu dibagi dua? Apa siara langsung lainnya lebih penting?

Kelima, toleransi itu sederhana, namun kadang menjadi susah dan sukar karena perilaku koplak dan naif segelintir orang egois. Pihak lain berbuat baik saja masih dijegal dengan berbagi hal aneh dan remeh-temeh, karena kepentingan sendiri.

Keenam, negara ini Pancasila dasarnya,namun sering kalah dengan aksi dan gagasan ideolog yang memiliki pemahaman sempit, keakuan, dan memaksakan kehendak. Minoritas harus mengalah, termasuk pendirian rumah ibadat yang susah, pembubaran ibadat yang berulang.

Ketujuh, apa JK tidak malu dengan apa yang Paus nyatakan berkali-kali, bahwa bangsa ini bisa menjadi inspirasi keberagaman dan toleransi. Malah mempertontonkan arogansi yang sangat jelas dan lugas.

Benar kata Bapa Kardinal Ignasius Suharyo, bahwa Gereja Katolik tidak meminta hak tambang, namun lebih besar dari itu, yaitu  negara hadir dan berperan dengan baik. Dampaknya adalah semua salang sengkarut hukum, pemikiran, dan perilaku yang menyimpang dari Pancasila bisa direduksi.

 

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan