FEATURED

MUI Pastikan Bangunan di Sukabumi Villa Bukan Gereja

MUI Pastikan Bangunan di Sukabumi Villa Bukan Gereja

Miris apa yang terjadi di Sukabumi, ada retret remaja yang dibubarkan dengan kekerasan. Video yang beredar memperlihatkan bagaimana kaca-kaca dipecahkan, kayu salib dibanting dan dipakai untuk memukul. Aksi intoleransi yang lagi-lagi terulang. Lebih memilukan lagi ada polisi dan tentara di sana yang seolah mengawal pelaku bukan melindungi korban.

Lebih miris lagi, model mempertahankan diri, membela diri dari MUI yang mengatakan, atau bersikukuh bahwa bangunan itu bukan gereja. Lha memangnya kalau bukan gereja, memasuki pekarangan orang lain sambil teriak-teriak, merusak, membubarkan acara pihak lain itu benar? Aneh bin Ajaib jika pemikiran itu ada dalam benak yang katanya tokoh agama.

Bagaimana bisa seorang tokoh memiliki pemikiran demikian, dan seperti apa pemikiran yang ada di dalam naungannya. Tidak habis pikir, bisa-bisanya mau mencari pembenaran atas perilaku intoleran, kekerasan, dan pemaksaan kehendak.

Sukabumi yang masuk 10 besar kota tertoleran di Indonesia, akhir Juni menjadi tercoreng. Ditambah dengan pembenaran dari pihak-pihak yang berkaitan. Keberadaan polisi dan tentara yang sekadar menjalankna tugas, namun abai dampak lebih atas seragam yang ia kenakan.

Beberapa hal yang laik diulik seperti berikut,

Bersikap dan menyatakan, bahwa bukan gereja, terus mau apa dengan pembelaan diri model demikian? Jika bukan gereja boleh membubarkan acara pembinaan rohani begitu? Jangan salahkan perilaku  demikian akan selalu marak, dan terus terulang. Merasa terlindungi, pun penegak hukumnya juga ngeper.

Memasuki pekarangan pihak lain dengan seenaknya, merusak, teriak-teriak atas nama agama, seolah itu benar dan baik. Padahal tentu tidak demikian. Keberadaan villa dan bukan gereja, di bumi Indonesia seharusnya mau villa, mau penginapan,  ataupun lokalisasi tidak boleh ada rakyat ngamuk dikawal polisi dan tentara.

Merusak.  Apapun alasannya merusak, milik  pihak lain lagi. Wong merusak milik sendiri saja hanya dilakukan bocah belum nalar. Apa ya boleh, hanya karena bukan gereja, lak somplak. Sama sekali tidak ada pembenar untuk perusakan. Lebih lagi symbol agama lain, dengan dasar kebencian dan ketidaksukaan. Jauh lebih memalukan dari sekadar merusak gereja.

Sikap membela diri berlebihan, tidak merasa bersalah, mencari-cari dalih dan pembenar, jelas bukan ciri orang beragama. Spiritualitas agama akan membuat sikap rendah hati, bertanggung jawab, dan terutama toleran, bukan sebaliknya. Intoleran menjamur karena selalu memperoleh pembelaan termasuk dari penegak hukum.

Sikap tegas dari pemerintah perlu untuk menegakkan keberadaan Pancasila. Agama dan Pancasila tidak saling meniadakan. Malah justru saling melengkapi dan memperkaya. Bernegara, berarti Pancasila adalah pemersatu atas segala potensi perbedaan dalam dogma-dogma masing-masing agama. Ini sejatinya kekuatan dan kesatuan dalam bingkai NKRI.

Egoisme sektoral para  tokoh agama, apapun itu, bisa menjadi pemicu ketidakstabilan berbangsa ini. Sikap saling curiga, iri, dan hal-hal tidak enak lainnya. Ketaatan pada Pancasila dan konstitusi bisa menjadi jembatan harmoni.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *