FEATURED

Nasibmu Oh Guru

Nasibmu Oh Guru

Miris, bagaimana keberadaan guru yang berujung teguran, dipersalahkan, dan tidak jarang dipidana. Sendirian. Kisah terbaru, dari Sragen. Menurut pemberitaan, ibu guru ini memotong baju seragam peserta didik karena sudah berkali ulang membuat pelanggaran. Pun sudah ada persetujuan dari orang tuanya. Melanggar aturan konon lebih dari lima kali, sudah mentok mau diapakan lagi.

Seragam yang dikenakan bukan seragam sekolah yang bersangkutan. Namun seragam sekolah sebelumnya, berarti bisa diandaikan, anak ini pindahan, ada juga kemungkinan bermasalah. Ada tulisan-tulisan dan gambar tidak bener lagi.

Kisah yang sebelumnya, bahkan sempat sampai pengadilan, ibu guru yang dituduh mematahkan kaki seorang anak didik, kebetulan anak polisi. Ada dugaan permintaan “uang damai.” Karena tidak ada cuannya, maka sampai pengadilan. Rekan-rekannya pada datang berdemo dan “dibebaskan.” Entah apa jadi atau tidak, si anak juga dilarang sekolah di kecamatan tersebut.

Kisah di atas memberikan beberapa hal yang layak diulik lebih jauh;

Kebersamaan dalam satu kolegialitas. Namun jangan juga pokok e kalau kelempokku pasti benar, sebagaimana di militer dan polisi. Bersatu untuk memberikan perlindungan pada guru, sehingga tidak sendirian ketika menegakkan disiplin dan aturan sekolah.

Pendidikan dan kedisiplinan itu sangat penting dan mendasar. Tanpa itu semua tidak aka nada kemajuan dan masa depan. Diperparah otoritas orang tua yang lemah. Hal ini terkonfirmasi pada pernyataan dari orang tua yang bajunya digunting. Anaknya di rumah cuma  diam, tapi tidak melakukan.

Pun kebersamaan yang memberikan tekanan pada publik  dan peradilan sebagaimana kisah di Sulawesi memberikan dampak. Tentu saja pada konteks yang tepat. Tidak asal sesama guru pasti benar.

Membangun sikap otonom dan berani asal benar. Selama ini, kebanyakan guru takut bersikap demikian. Sangat bisa dipahami, karena memang UU yang membelenggu. Mereka juga punya keluarga yang harus aman dalam konteks ekonomi, psikologis, dan juga kehidupan bersama.

Kondisi demikian membuat guru menjadi apatis, yo sudah, sekarepe pokoknya kurikulum selesai. Pendidikan tidak tercapai, hanya mengajar. Pengajaran saja. Nilai pendidikan tidak terjadi. Ini salah sejak konsep, ketika UU dibuat serampangan, tanpa melibatkan guru yang ada di lapangan, oleh anggota dewan yang memang tidak cukup kompeten.

Wajar, ketika  anak sekarang susah dalam mengikuti aturan, kemampuan membaca dan berhitung melemah. Guru takut mau memberikan tekanan lebih untuk mereka bisa berjuang lebih keras. Bandingkan era 70-90an, saat dunia pendidikan masih   normal.

Dugaan bahwa ada pihak-pihak yang memperlemah dunia pendidikan kita, kog kelihatannya tidak berlebihan. Pendidikan yang lebih baik susah diupayakan. Mengurangi menghafal saja sulitnya minta ampun.

Kemajuan teknologi terutama komunikasi dengan murahnya kamera dan perekam video menambah runyam. Lihat saja begitu mudahnya viral, sering lepas konteks dan makna mendalamnya. Semua menjadi “ahli” dengan kacamata masing-masing. Padahal tidak seluruhnya benar dan tepat.

Guru di tengah arus yang begitu deras, sendirian lagi. Tanpa kebersamaan dengan rekan-rekan sejawat, sangat mungkin mereka depresi dan ujungnya membiarkan anak-anak berjalan sekehendaknya sendiri.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

 

 

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *