Pimpinan KPK: Pejabat Tidak lagi Takut Korupsi
Pimpinan KPK: Pejabat Tidak lagi Takut Korupsi
Miris, atau mengerikan malahan, Ketika salah satu pimpinan KPK menyatakan, pejabat tidak lagi takut KPK. Mereka berpikir bahwa tindakan yang mereka lakukan yaitu korupsi jauh lebih “menguntungkan” dari pidana atau penjara yang mereka dapatkan. Vonis yang ringan, pemotongan dengan berbagai alasan, dan pasal yang bisa mereka mainkan tidak membuat jera.
Lihat saja para tersangka, terdakwa, bahkan terpidana masih bisa cengengesan, masih berphoto-photo, melambaikan tangan seolah mereka itu selebritas yang sedang diambil gambarnya. Memuakkan.
Kata atau istilah yang diambil saja salah. Harusnya tidak soal berani, takut, namun malu. Ketika merugikan negara, maling uang rakyat itu malu. Selama ini kan tidak, malah bersikukuh bahwa ia tidak bersalah, merasa hanya sial, nasib buruk, dan sebagainya.

Istilah koplak lagi dari KPK yang lalu, bagaimana bisa mengatakan berani jujur itu hebat. Jujur itu biasa, tidak ada prestasi apapun. Sudah sebuah keharusan, karakter dasar yang kudu dimiliki, konteks ini jelas pejabat. Lha mengatakan jujur itu hebat seolah-olah adalah prestasi, capaian luar biasa, yang bisa hanya sedikit.
Contoh hebat yang benar dan kontekstual adalah, anak itu hebat, ia lolos dari 1000-an peserta, dan tidak menggunakan orang dalam, anaknya sederhana, dari keluarga biasa saja. Jelas hebat di sini tepat dalam penggunaan. Bandingkan dengan jujur itu hebat. Kan aneh dan ngaco.
Pun mengenai korupsi itu adalah maling. Pakai saja istilah maling anggaran atau maling uang rakyat, selesai. Toh tidak, menggunakan istilah korupsi, koruptor, seolah bed akelas dengan maling ayam, maling jemuran, atau maling sandal. Semua sama, bahkan lebih memalukan, karena mereka maling karena tamak, bukan untuk hidup.
Istilah tidak takut lagi, juga miris. Harusnya mereka dalam konteks pencegahan dan sosialisasi antikorupsi menekankan malu berbuat maling uang rakyat. Konsep ini tampaknya belum pernah ada dalam benak para pemangku kebijakan untuk mengubah perilaku bejat para aparat.
Sejak dalam pendidikan, siswa juga jarang kog diajarkan malu Ketika terlambat, tidak jujur dalam ujian, malah pernah dalam suata masa kejujuran dalam ujian seolah hanya tulisan. Doa sebelum ujian hanya basa-basi, menyontek dan kerja sama hal yang biasa.
Bagaimana bisa merasa malu, ketika pengajaran di Lembaga Pendidikan saja abai untuk menciptakan iklim jujur dan bertanggung jawab. Guru-guru dalam menyelesaikan administrasi kependidikan copas hal yang biasa, integritas dasar saja abai. Terlambat malah cengengesan, belum lagi jam mengajar malah main medsos atau ngeteh di kantor atau kantin.
Integritas memang masih terlalu jauh dari karakter kita bersama. Malu pada konteks yang keliru sering terjadi. Misalnya malu karena miskin. Padahal apa salahnya miskin, ketika itu jujur penuh integritas, tanggung jawab, tidak nyolong, mengapa tidak?
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan
