UU Berbasis Agama dan Keberadaan Pancasila

UU Berbasis Agama dan Keberadaan Pancasila

Seolah biasa saja menggunakan bahasa atau kata dan terminology agama tertentu. Padahal bangsa ini memiliki falsafah berbangsa Pancasila dengan Bhineka Tunggal Ika. Jargon empat pilar, moderasi beragama, toleransi, dan seterusnya adalah bualan semata.

Pada  sisi lain marak pemaksaan kehendak dengan menggunakan istilah-istilah khas suatu kelompok. Atas nama mayoritas bisa melakukan apa saja bagi yang kecil, dan pihak minoritas harus menerima itu sebagai sebuah kewajaran.

Sepak bola kita itu masih  belum dilirik dengan penuh antusias oleh pihak asing. Kenapa menggunakan bahasa Inggris dalam  peristilahan. Ada red card, yellow card, coach, corner, padahal padan kata Indonesia ada dan tidak kalah sederhana, seperti kartu merah, kartu kuning, pelatih, tendangan sudut dan sebagainya.

Lain jika memang sudah menjadi industri dan tontonan di negara lain yang harus ramah dengan mereka. Malah menunjukkan diri sebagai bangsa yang inferior, inlander, dan feudal yang penuh kekaguman pada negeri lain.

Miris sebenarnya jika melihat pemberitaan, mendengar komentator memakain istilah asing yang mubazir karena padan katanya ada. Kebanggaan sebagai bangsa dengan bahasa sendiri rendah.

Kini lebih memilukan, ketika dalam Bahasa Undang-undang memakai istilah serapan Bahasa Arab yang jelas konotasinya ke mana. Padahal padanan kata dalam kata Indonesia sangat banyak, konotasi lebih universal, tidak menganggap agama lain sebagai liyan, di negeri sendiri.

Salah satu kata yang sebenarnya sudah diserap dalam Bahasa Indonesia adalah akhlak, namun jelas itu berkonotasi Islam dan sekmentasi bagi yang tidak menganut agama tersebut.

Padahal kata lain sangat banyak, tanpa ada atribut agama di dalamnya. Budi pekerti, karakter, kepribadian, moral, atau adab, itu semua lepas dari label agamis. Mengapa tidak dipakai istilah ini?

Ada pihak-pihak yang memang memaksakan istilah dengan terminologi agama.   Mereka ini memang menghendaki dikotomis dan menempatkan diri lebih dari pihak lain. Suka atau tidak, mereka ada dan perlu diakui bahwa kelompok ini ada.

Pihak lain, dalam konteks ini kelompok minoritas merasa tidak perlu mempermasalahkan, membiarkan dalam kondisi terpaksa ataupun memang tidak paham bahwa ada pihak yang maunya demikian, seperti poin yang di atas.

Dasar negara ini Pancasila. Final. Namun toh aksi ultrakanan itu tetap saja masih bergerak dan seolah tidak disadari oleh pihak yang lain. Pembiaran ini justru membuat aksi mereka bergerak dengan leluasa.

Pemilihan kata itu menjadi penting. Setelah pemakaian pakaian yang sudah demikian massif, kini penggunaan istilah yang berbahasa tertentu. Ingat bagaimana kelompok yang senada membuat penghakiman mengenai salam beragama dengan dogma agama tertentu.

Di mana Pancasila berdiri jika demikian? Jangan sampai kalah oleh aksi sebagian pihak yang mau merongrong keberadaan Pancasila.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan