Sambo, Prabowo, dan Masa Depan yang Terenggut

Sambo dan Prabowo ini rising star di zaman dan institusi yang berbeda. Mereka  termasuk termuda dalam meraih bintang. Tanpa memasukkan unsur pro dan kontra, mereka berdua dalam usia yang sangat muda ada pada jajaran bintang lebih dari satu dan melampaui banyak kakak tingkat.

Bisa jadi bahwa perasaan tersalip, merasa dilangkahi, dan unsur-unsur kecewa dari banyak pihak bisa saja ikut terlibat. Pun penyebab bintang yang demikian cepat diperoleh, bisa jadi juga karena berbagai faktor. Tanpa melibatkan faktor nonprestasi, mereka berdua sangat moncer.

Kini, keduanya terpuruk. Memang jauh lebih beruntung Prabowo yang tidak perlu menjadi pesakitan, bahkan kini ada pada puncak karir, menjadi menteri. Bintang tiganya pun masih aman.  Memang beda zaman  dan beda penanganan. Cenderung penyelesaian politis untuk Prabowo, pendekatan hukum susah pada masa itu.

Sambo ini karena tekanan publik dan media sosial menjadikan pusat perhatian, sehingga suka atau tidak kepolisian tidak bisa bertindak seperti pendekatan penyelesaian kasus Prabowo, malah bisa nyapres berkali-kali pula.  Roy Suryo pun ikut terdampak karenanya. Tanpa kasus Sambo, bisa jadi Roy Suryo pun masih cengengas-cengenges tanpa merasa bersalah.

Masa Prabowo belum gencar dan murah internet, tanpa itu semua,  penyelesaian bawah tangan sangat mungkin terjadi. Semua bisa diatur.   Zaman berubah, kontrol sosial kini lebih kenceng. Siapapun bisa menjadi hakim, jaksa, pengacara, dan penonton sekaligus. Tekanan publik yang tidak akan bisa dihindari lagi di mana digital telah demikian murah.

Apakah keadaan Prabowo bisa seleluasa sekarang jika itu terjadi hari-hari ini? Susah  bisa berkelit, karena analisis amatiran pun bisa menjungkirbalikan analisis pakar, kala era keterbukaan teknologi informasi demikian murah dan terjangkau seperti hari ini.

Pilar demokrasi keempat itu jurnalisme, atau pers kini bisa dijadikan kekuatan, ketika media bukan malah berpihak. Dewan pers sempat melempem di awal-awal kasus Sambo, tekanan publik melalui media sosial dan jurnalisme warga cukup efektif.

Beberapa waktu lalu, kasus SPI sempat adem ayem, terdakwa bahkan bebas diantar jemput mobil mewah tanpa ditahan. Kala terdengar oleh pegiat media sosial, habis. terdakwa ditahan saat itu juga.

Kekuatan yang bisa berbahaya ketika jurnalisme publik ini bisa “tergadai, terbeli, dan terkooptasi” oleh kepentingan. Saluran alternatif ini bisa juga mampet sebagaimana media arus utama yang sangat birokratis dan mudah diberangus.

 

Salam penuh kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply