Loyalis Puan, Presiden Bukan Sekadar Perlu DNA
Usai Puan mengatakan 2024 akan ada presiden perempuan lagi, loyalisnya mendukung dengan urusan DNA. Sah-sah saja sih mengusung siapapun menjadi capres atau menjadi apapun, asal mampu memenuhi syarat-syarat yang ada.
Partai ada, suara signifikan, loyalis banyak, namun apakah itu semua cukup? Menarik jika bicara soal DNA atau keturunan ini. Bangsa ini memilih bentuk republik dan demokrasi, tetapi toh pola pikir feodal dan kerajaan sangat kenceng terasa.
Setali tiga uang dengan AHY dan loyalisnya kala menjadikan AHY tokoh. Hanya berkutat dengan apa yang sudah pernah SBY capai, meskipun masih bisa diperdebatkan. Sama sekali tidak membanggakan, apalagi ketika penggantinya adalah Jokowi yang sangat moncer.
Puan, tidak cukup hanya mengandalkan keturunan Sukarno dan Megawati. Apa sih yang sudah ia lakukan dengan gilang gemilang? Menteri juga tidak ada suara, ketua DPR pun sama saja. Apa yang dilakukan sangat remeh dan kuno, memasang baliho di mana-mana, meresmikan ini itu, melakukan tindakan yang seumur hidup belum pernah ia lakukan, jadi aneh. Menanam padi, itu jan ra mutu blas.
Padahal, dengan menjadi anak presiden, cucu presiden juga tentu memiliki pengalaman, kapasitas, dan terutama kesempatan yang berbeda. Tapi toh sama saja. Lihat apa yang telah ia capai selama ini? Doktor yang gelar akademik biasa saja, harus memampang HC, di mana itu adalah penghargaan. Padahal sangat mudah saat ini mau menjadi doktor.
Ketua DPR, masalah absensi dan kehadiran itu penyakit yang sangat kronis, toh tidak paham dan tidak ada tindakan perbaikan sama sekali. Masih sama saja. Coba dia bisa memperbaiki hal yang sepele ini, dukungan akan mengalir, tanpa perlu ribet.
Mencari dukungan fatwa pemimpin perempuan. Lha apa iya lupa sudah ada Ibundanya Megawati, dia sendiri ketua dewan, kurang apalagi? Malah aneh, DNA-nya lagi ngaco apa ya? Yang dilakukan itu tidak mendukung keinginannya.
Survey juga menunjukkan bahwa DNA-nya tidak cukup meyakinkan publik bahwa ia bisa. Malah seolah memperolok, apa yang sudah dicapai selama ini hanya karena nama besar sang kakek semata. Lah kan malah mempermalukan.
DNA saja tidak cukup. Perlu ketenaran, kemampuan, dan ujungnya keterpilihan oleh publik. Ealah, masyarakatnya semakin cerdas, eh malah elitnya mundur jauh ke belakang.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan