SBY Pahamilah Megawati

SBY Pahamilah Megawati

Tanggal 21 Juni adalah hari wafat Sang Proklamator, Bung Karno, sekaligus hari lahir Pak Jokowi, dua tokoh besar beda era negeri ini. Hari-hari ini, SBY yang mengungkapkan mimpinya Bersama-sama Jokowi dan terutama Megawati berlibur naik kereta Bersama, seolah menjadi sebuah keharusan untuk terwujud.

Hal ini terutama dari sisi Partai Demokrat. Ada yang mengatakan bahwa komunikasi yang dibuka sejak lama oleh SBY itu kudu direspons yang sama oleh mantan presiden perempuan pertama Indonesia itu. Elit Nasdem menyebutkan bahwa itu adalah contoh baik bagi masyarakat.

Benar, dan sangat boleh memiliki pemikiran demikian. Mereka lupa, Megawati dihidupi oleh luka yang sangat tidak mudah untuk disembuhkan tentunya. Bagaimana ia seorang puteri presiden namun harus terpental dari istana, kuliahnya pun harus ditinggalkan. Siapa sih yang mampu memahami dan tahu dengan baik peristiwa-peristiwa tidak enak itu, selain si korban sendiri?

Ayah yang seorang presiden namun wafat di dalam ketiadaan, tidak soal penghargaan, namun soal penindasan oleh orang yang menggantikannya, namun karena inferior, takut, dan dibarengi kekejaman, menggunakan segala cara pembungkaman. Hingga berpuluh tahun kemudian nama ayahnya disebut saja sebuah kejahatan, subversive, siapa yang merasakan selain mereka, keluarga?

Eh kisah yang tidak jauh berbeda, Megawati juga mengalami keadaan yang mirip. Ketika menterinya menjadi kompetitornya, dan kalah lagi. Luka batin yang mau sembuh itu pasti terbuka lagi, keadaan biasanya lebih parah, perih, pedih, dan lebih dalam.

Kini, hanya karena puterinya mengundang anaknya, SBY bahkan sampai mimpi. Bersama-sama naik kereta. Apakah SBY lupa apa yang ia lakukan di 2004 lalu? Jika iya, layak bisa bersikap demikian mudah, membuka komunikasi, menunggu Megawati juga bersikap yang sama.

Luka bukan untuk dihidupi, tapi bahwa penyembuhan itu tidak segampang panu, yang sekali dua kali oleh obat tetes sembuh. Ini batin, hati yang terluka. Perempuan lagi, jadi, sangat perlu perhatian, mengerti, dan jangan kemudu-mudu, merasa pantas menjadi sesuatu, calon wakil presiden dalam konteks ini.

Apakah ini SBY yang kini merasakan apa yang dulu Megawati alami? Apalagi jika  AHY gagal berkoalisi dengan siapapun bakal calon presidennya.  Layak ditunggu.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan