Galaunya SBY dan Demokrat

Pilpres 24 makin dekat. AHY  masih saja merayap di hasil-hasil survey. Namanya makin tenggelam di tengah kenaikan nama-nama kompetitor yang makin berkibar.  Nama ketua umum partai demokrat masih saja di papan bawah. Susah keluar dari zona itu.

Padahal baliho sudah di mana-mana. Jargon digeber tanpa henti. Safari politik pepo dan putera mahkota berujung PHP saja. Semua seolah  meninggalkannya sendirian.

SBY kudu paham, roda kehidupan itu  berputar. Dulu pernah 10 tahun di atas. Kini, kondisi berbeda. Kala di bawah, semua menyingkir, dan yang dekat  itu malah jadi biang masalah. Apapun seolah adalah bahaya atau mempersulit keadaan. Semua menjauh, apapun adalah hambatan, penghalang, dan malah jadi bumerang.

Beberapa    hal terakhir sangat mempersulit Demokrat;

Pertama, kasus dan drama Roy Suryo. Berkoar-koar bukan lagi kader Demokrat, toh isu, narasi, dan politik sebangun dengan apa yang sedang partai SBY lakukan. Isi narasinya  oposan Jokowi terutama. Susah melihat Roy Suryo berdiri di luar partai lamanya.

Heboh meme stupa Borobudur telah menyentak publik, Demokrat akan terimbas gede. Penangkapan, usai berdrama-drama makin menyulitkan partai pemenang di 2009 itu. masih saja dikaitkan dengan mantan menteri dan partainya. Sikapnya yang arogan dan tidak merasa bersalah makin memperlihatkan mutu politikus dan partai yang sempat membawanya menjadi menteri. Makin susah.

Kisah kedua Benny K. Harman, yang sudah berkali-kali mempersulit diri dan partainya. Kali ini menyoal mengenai penonaktifan FS, mantan Kabag Propam. Lha sebelum dinonaktifkan saja sudah puluhan Bhayangkara yang ikut kehilangan jabatannya. Apalagi jika tidak dicopot. Mereka pasti takut atas instruksi FS dalam mencoba menghindarkan diri dari drama di rumah dinas itu.

Permainan politik yang sangat kasar, maaf bodoh. Dewan sepi dari respon. Ada satu tanggapan saja tidak bermutu. Apakah ini berkaitan dengan relasi dengan FS  atau karena ketidakpahaman si kader de ngan peta politik yang sedang terjadi. Ngaco.

Kisah ketiga,  SBY nonton volley di hari kemerdekaan. Hal yang sangat tidak elok. Sebagai presiden keenam, seharusnya SBY ikut hadir di istana. Wajar ketiga netizen membandingkan kala SBY sakit dan berobat ke USA, merengek-rengek kepada pemerintah. Eh ini negara sedang senang-senang merayakan kemerdekaannya, eh ia malah nonton pertandingan volley.

Menarik dengan olah raga yang cukup merakyat ini, SBY akhir-akhir ini demen banget dengan olah raga satu ini. pertandingan olah raga itu jelas dan cepat hasilnya diketahui. Politik tidak sesederhana itu. SBY hendak mencari hiburan yang menyenangkan hati secara instan, sesegera mungkin, cepat, tanpa perlu lama.

Politik tidak sesederhana volley, tetapi SBY sudah tidak tahan lagi. Bagaimana ia meminta anaknya yang baru mayor keluar itu kan jelas orang yang tidak sabar berproses. Apa yang menjadi fokusnya adalah kekuasaan.

Potong kompas, budaya instan, enggan berproses, lihat bagaimana Demokrat paling getol menjatuhkan Jokowi apapun isu dan narasinya.  Padahal limitasi demokrasi di negeri ini  sangat jelas dan gamblang.

Demokrat makin jauh, apalagi isu penangkapan koruptor kakap yang disangkutpautkan dengan SBY. Makin berat bagi demokrat, apalagi AHY. Hargailah proses, menjadi bupati atau walikota masih  mampu, dari pada mencoba yang lebih tinggi toh gagal  terus.

Terima kasih dan salam

Susy Haryawan

 

Leave a Reply