Seragam itu Mahal
Seragam itu Mahal
Belajar dari Calon Akpol dan PNS Kena Tipu
Dua kisah orang tua yang ingin masa depan anaknya aman. Uang millyartan ludes, kena tipu. Satu dari Pekalongan, kena calo masuk Akpol hilang uang 2,6 M, dan pedagang bawang merah di Nganjuk lenyap uang 1.5 M untuk anaknya bisa menjadi PNS di kantor pajak.
Pegawai versus Wiraswasta
Kedua-duanya, yang kena tipu ini orang-orang mandiri, pekerja swasta dan pastinya lumayan berdaya dengan memiliki uang segitu. Padahal, jika untuk modal usaha, karena mereka juga selama ini menekuni bidang itu, apa tidak lebih baik untuk mengembangkan usahanya agar lebih besar.

Kreativitas. Penghargaan akan kreativitas memang rendah. Wajar orang terutama anak muda mencari aman. Pegawai, kalau tidak mampu jadi pegawai, ya menjadi buruh pabrik. Miris sebenarnya, jika pola pikir seperti ini masih dominan.
Ada pembelaan, kan itu keinginan orang tua. Benar, namun si anak, generasi mudanya tidak pula memiliki greget, semangat, dan motvasi bekerja di bidang yang membuatnya lebih berkembang. Tentu tidak buruk menjadi pegawai, militer, ataupun polisi. Namun tidak perlu pula dengan membuang-buang uang suap segala.
Kompetensi
Miris, jika dana sebesar itu yang harus disiapkan, bisa jadi memang yang bisa menjadi pegawai negeri, polisi, dan tentara yang memiliki doit. Kan ngeri dan miris. Tengok saja di legeslatif, hampir semua juga karena uang. Kemampuan minim, namun bisa membeli, sehingga terjadi jual beli. Transaksional, ketika menjabat, ya akan mencari kembalian modal.
Komptensi rendah, pakai modal besar pula, jadinya pekerjaan buruk, namun minta gaji besar. Susah untuk berpikir kinerja moncer. Wajar angka korupsi tidak makin turun namun malah makin edan-edanan. Karena sejak mula sudah dengan uang, suap, dan kolutif untuk bisa masuk dalam jabatan dan kedudukannya.

Paradognya negeri ini, menglaim sebagai negara paling religius, namun suap masih menjadi salah satu gaya hidup untuk menjadi pegawai dan pejabat. Sebenarnya apa yang terjadi ini semata, fenomena gunung es. Sangat banyak terjadi di segala lini, namun bagaimana mau diselesaikan, kehendak baik itu tidak ada.
Suap, kolutif, itu kan seperti kentut. Aromanya menguar tidak alang kepalang, namun pasti tidak ada yang mengaku. Bagaimana mau menyelesaikan? Apalagi habitatnya masih sangat kuat, menganggap itu sebagai hal yang “wajar.” Miris.
Penegakkan hukum dan moral juga sangat lemah. Jika saja model penyuap begini ini dibuat malu, dianggap sebagai tidak kompeten, kan tidak pernah ada. Malah lebih malu kalau miskin namun jujur, dari pada kaya hasil tidak semestinya.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan
