Masyarakat Pengeluh
Kematian televisi analog sudah disiapkan oleh pemerintah. Bagian dari amanat UU Ciptakerja. Adanya kesenjangan antara elit dan masyarakat yang seolah hanya menjadi konsumen, dan dijadikan perahan oleh elit tamak, namun dibenahi malah membela si bandit itu.
Alat disediakan negara, masih mengeluh katanya hiburan saja dipersulit. BBM naik mengeluh katanya percuma mendukung Jokowi jadi. Padahal di tengah pandemi, bantuan demi bantuan mengalir, vaksin gratis, selalu saja mengeluh.
Entah mengapa masyarakat dan negeri ini hanya pandai mengeluh, bukan bersyukur. Padahal mengaku negara beragama, bahkan dikit-dikit agama, penistaan agama, atau label, pakaian, kata-kata saleh adalah jimat paling mujarab. Tapi masih saja mengeluh dan mengeluh.
Televisi analog mati, beralih menjadi digital. Masyarakat tidak menjadi korban, bahkan mendapatkan banyak keuntungan. Elit, raja media itu yang akan merasakan bahwa keuntungan mereka kini bisa berabe. Dengan harga sewa frequensi yang terjangkau, iklan tidak lagi menjadi pangsa pasar mereka yang sangat menggiurkan.
Apakah ini hanya kalangan akar rumput? Tidak juga, pemakai aktif media sosial, mengaku sebagai aktivis medsos, tapi toh juga masih mengeluh. Ini soal tabiat. Mengembangkan narasi, nanti jangan-jangan televisi digital ini berbayar. Lebih aneh lagi.
Korupsi, maling berdasi, terorisme, dan narkoba sudah jelas dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa. Padahal mengeluh, nyinyir, dan tidak pernah puas ini juga lebih luar biasa buruknya. Apapun dikeluhkan, dijadikan pro dan kontra. Kapan membangun jika demikian terus?
Maling berdasi merajalela, RUU Penyitaan Aset ditolak oleh DPR RI, mereka bungkam, mengapa? Ya mereka tidak merasakan pentingnya itu. Hanya yang di depan mulut, di depan mata itu yang penting.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan