Kala Guru Matematika Menilai Moral dan Keimanan dari Jilbab Siswi
Berulang lagi, soal jilbab bagi siswi sekolah negeri. Yogyakarta belum terlalu lama, kini Sragen di Jawa Tengah juga kejadian. Di daerah istimewa itu masih lumayan masuk akal, ketika guru BP yang menjadi penyebab ribet. Lha ini, malah guru matematika, laki-laki pula.
Beberapa hal yang menjadi ganjalan adalah,
Matematika itu ilmu pasti, rasional, dan logis. Kog bisa-bisanya jatuh pada penilaian ranah spiritual, keimanan, dan pakaian. Lucu sebenarnya. jauh lebih tepat, ketika pengampu mata pelajaran seperti ini menegakkan disiplin, kerapian pakaian, taat masuk kelas, di kelas menjadi lebih tenang, dan pokok pendidikan. Laki-laki lagi, kurang logis dan rasional apalagi.
Pakaian, suka atau tidak, rela atau enggan mengakui, sebenarnya tidak menjadi cerminan dan takaran hidayah, keimanan, dan ketaqwaan siswi atau perempuan itu pada Sang Pencipta. Memangnya manusia memiliki takaran apa yang bisa mengukur kadar itu, ingat ini guru matematika, beda kasus kala itu guru agama, BK, atau wali kelas.
Jauh lebih banyak anak-anak SMA begitu, bahkan sudah ada yang “menjual diri” demi smartphone. Bisa jadi bahwa sekolah itu belum demikian, namun fenomena ini sangat marak. Lebih pas, tepat, dan bermanfaat sebenarnya adalah pembinaan mengenai pendidikan seksualitas. Lha lihat saja berapa banyak orang dengan atribut agama namun lakunya bejat.
Korupsi, kalau sekolah masuk sekolah dengan menyuap, menyontek, sikap tindak bertanggung jawab, misalnya tugas tidak pernah dikerjakan, copas artikel, dan banyak lagi. Mengapa sih ribet dengan baju.
Penyelesaian yang hanya memindahkan anak, mengatakan pembinaan guru, dan tanpa adalah pengawasan lebih lanjut, jangan kaget kalau akan terjadi lagi dan lagi. Fenomena yang sudah dilaporkan NU dan Muhamadiyah bersama-sama melalui buku Ilusi Negara Islam Indonesia, tahun 2009, pada tahun 2022 masih marak.
Penegakkan hukum dan juga sikap yang tegas, sekolah negeri bukan sekolah Islam itu bukan sekadar slogan dan wacana, lakukan. Sepanjang hanya formalitas, jangan heran, guru-guru makin berani, apalagi jika menjadi kepala sekolah.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan