Terawan  dan IDI, Belajar Sisi Spiritual Jokowi-Ahok

Hari-hari ini sedang panas mengenai IDI yang diplesetkan menjadi mukidi karena diindektikan dengan MUI, karena pemecatan Terawan. Pro kontra saling silang, Terawannya diam saja. Cukup aneh dan lucu, di tengah dunia Indonesia yang gaduh, ada pribadi seperti ini.

Pagi ini, ada tulisan seorang rekan yang mengupas sisi lain dokter Terawan yang cukup religius. Ia menyatakan, apakah kita pu rindu membuat Tuhan tersenyum hari ini?  Membuat  terkesima. Hal yang sama, ketika pandemi mulai menggila, ada tayangan, bagaimana nakes di Wisma Atlet bernyanyi, Hidup itu Kesempatan. Padahal tahu bahwa di depan itu nyawa taruhannya.

Ketenangan Terawan, jadi ingat dan merenungkan, bagaimana Jokowi itu setiap saat dicaci maki, birokrasinya gak jalan, dan masih juga dicari-cari kesalahannya. Jawabannya hanya diam dan tetap bekerja. Hal yang seolah itu lemah bagi para pencaci maki.

Pun Ahok, setiap ruang di Jakarta mencari kelemahannya. Pelaporan ke KPK, BPK, polisi, seolah sega jangan baginya. Ia tetap bekerja. Vonis hakim pun ia tidak teriak-teriak dan menuding ke mana-mana. Ia menunduk sebagai penghormatan. Adakah balasan makian? Tidak. Usai di penjara ia bekerja.

Orang lupa, bagaimana sisi spritualitas itu dihidupi. Tidak sekadar ucapan, sitiran kata-kata atau ayat suci. Namun bagaimana hidup harian mereka, bukan hanya baju atau asesoris badaniah. Salah satu orang memiliki spiritualitas tinggi tu rendah hati, tidak mudah ngamuk ketika tidak sesuai dengan kehendak merek.

Lihat IDI identitas agamis makin kentara, istilah muktamar, pembelaan dan ucapan duka untuk doker yang ditembak densus, menguatkan dugaan mulai melenceng sangat kuat. Namun hanya sampai label. Apa yang didukung dan ditelikung sesuai dengan kepentingan.

Mosok, Singapura, Malaysia mendapatkan keuntungan dengan merawat orang-orang Indonesia. Kemajuan sama sekali tidak ada.  inilah seharusnya tugas IDI untuk membangun kemandirian, kemajuan, dan penembangan profesi dokter.

Jangan-jangan malah jadi penghambat pengembangan diri para dokter ketika tidak sama aliran atau labelnya? Jadi ingat sudah pernah ada wacana RUU nakes harus seagama dengan pasien. Jangan-jangan ini ada kaitannya.

Spritualitas itu tampak dari hidupnya, bukan hanya       label dan kata-kata suci tanpa makna karena tidak nyata dalam perilaku. Miris, lebih banyak pejabat yang model ini. Lamis, munafik, dan  hanya mementingkan tampilan.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan