Tukang Becak, Jalan Tol, dan Visi Politik Cak Imin, Tanya Tukang Duren

Tukang Becak, Jalan Tol, dan Visi Politik Cak Imin, Tanya Tukang Duren

Cak Imin yang sudah bermetamorfosis menjadi Gus Muhaimin mengatakan, bahwa tukang becak tidak menikmati jalan tol. Pertanyaan sederhana, nelayan itu apakah menikmati hasil tangkapan, misalnya ikan? Sama sekali tidak. Mereka akan menjual itu untuk kebutuhan mereka, ada ikan yang tidak layak jual yang akan mereka makan, apakah nikmat? Tentu tidak.

Tanya yang sama, apakah sopir bus juga menikmati obyek-obyek wisata yang mereka kunjungi? Kelihatannya enggak, karena mereka akan tidur karena butuh ngaso. Coba juga tanya Gus Muhaimin, apakah penjual duren menikmati duren sebagaimana pembeli duren yang memang sangat suka duren. Jawabannya keknya sama, tidak.

Pembangunan jalan tol itu untuk mengatasi kesenjangan produsen dan konsumen, bagaimana wilayah Indonesia yang begitu besar itu perlu sarana dan prasarana salah satunya adalah jalan, tol terutama. Distribusi lancar, efisien, dan efektif karena tidak banyak hambatan, seperti pasar tiban, lampu bangjo, ada tenda pengantin atau sripah, dan sebagainya.

Gus Muhaimin jika ada di pihak masyarakat tentu akan merasakan dan mengakui pulang dari Jakarta ke jawa Timur jelas lebih mudah. Pernah mendengar sendiri, orang yang sepanjang jalan memaki-maki, menjelek-jelekan Jokowi-Ahok,   dan memuja Anies baaswedan, ia mengatakan pulang ke Sumatera jauh lebih irit waktu dan enak karena ada jalan tol. Lupa dengan makian dan hujatan yang bertubi-tubi.

Mengapa Gus Muhaimin mengatakan hal demikian? Karena ia mau mereduksi apa yang Jokowi lakukan selama ini. Padahal  dulu ada dalam gerbong yang sama. Artinya, visi atau pandangannya hanya soal kekuasaan, bukan pembangunan bagi semua anak bangsa.

Tukang becak yang mengais rezeki di kota besar, misalnya Bogor, dari Wonogiri atau Purwodadi, akan mengakui dengan jalan tol mereka bisa pulang kampung lebih cepat. Apakah Muhaimin pernah merasakan derita kebanyakan anak negeri ini? Sama sekali   tidak  pernah, makanya mengambil analogi juga sesat.

Mengapa tidak menyoaal banyaknya maling alias korupsi yang asih marak? Mengapa mempermasalahkan jalan tol yang banyak manfaatnya? Apa karena belepotan dengan kasus-kasus yang sama, sehingga diam sejuta bahasa?

Miris jika orientasinya hanya kekuasaan, visi pembangunan dan bernegaranya lemah. perubahan kog malah mungkret, alias mundur, apa layak dipilih?

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan