Seragammu Agamamu

Orde Baru memiliki kebijakan soal KB, keluarga berencana yang sangat masif. Salah satunya peta keluarga yang dipampang di rumah kader KB, kadus, dan bisa diketahui publik dengan gampang. Termasuk mengenai alat kontrasepsi, yang sangat privat, urusan ranjang keluarga di pampang.

Seolah itu adalah hal yang lumrah. Padahal jika mau jujur itu melanggar HAM di mana perlindungan kehidupan yang sangat private dibeber di ruang terbuka.  Waktu itu sih biasa-biasa saja. Hanya sedikit pihak yang bersuara berbeda, toh tidak berani juga dari pada hidupnya dicap dan dilabeli PKI.

Kini, jauh lebih luas, vulgar, dan pada tataran tanpa sekat, batas, dan terbuka, ketika agama bisa ditilik dari seragam. ASN, militer, polisi, anak sekolah kelihatan agamanya dari atribut, pakaian, dan seragam yang mereka pakai.

Apa sih dampaknya?

Bisa jadi memandang dengan mata dan pola pikir yang berbeda, liyan, ketika berbeda, dan suka atau tidak, memang ada upaya itu. Apalagi ketika     pemaksaan, perundungan, dan perlakuan tidak adil ketika memilih berbeda.

Memperbesar perbedaan bukan malah mencari persamaan. Ingat negeri ini berpuluh-puluh perbedaan yang ada. Bhineka Tunggal Ika yang dipersatukan Pancasila sebagai dasar negara, sudah seharusnya memupuk persamaan.

Kala identitas, pakaian, seragam, dan label agamis malah memperkeruh keadaan, membeda-bedakan, memperbesar jurang perbedaan, sebagai negeri majemuk perlu berefleksi ulang. Apakah ini sudah benar, atau malah membuat makin runyam?

Kepentingan ideologi tertentu memang membuat keadaan makin tidak mudah. Hal ini yang seolah-olah tidak disadari oleh berbagai pihak. Bicara agama begitu sensitifnya. Menyoal busana yang tidak esensial bisa dipelintir dan menjadi masalah berkepanjangan.

Apa yang menjadi ranah private malah kebuka di kancah publik. Apa yang seharusnya menjadi bahan perbincangan publik dan itu biasa ditarik pada tataran privat. Kekacauan berpikir ini karena campur aduknya politik, identitas-ideologis, dan kemampuan berpikir kritis yang kacau balau.

Pendidikan yang dipenuhi dengan nuansa agama literal dan label makin runyam kala politik masuk pula di sana. Hal yang kudu disadari dan dijadikan evaluasi bersama. Kembalikan pada bagian masing-masing.

Kesalahan Orba malah diperparah karena tekanan atas nama agama, padahal itu hanya bagian kecil, aliran agama tertentu yang suka memaksakan kehendak. Menjadi susah karena ada politikus buruk dan busuk tanpa prestasi yang memanfaatkannya. Siapakah dia? Publik juga paham kog.

Melihat seragam kini bukan tahu identitas lembaga, organisasi, atau identitas kerja apa, namun agamanya. Pembedaan yang tidak seharusnya menjadi labeling yang menentukan mutu iman sesoerang.

Kejadian berulang mengenai perisakan siswi tanpa label agamis perlu ditinggalkan. Tidak saatnya puritan soal simbol, namun keadaan moral jauh lebih parah. Miris dan perlu upaya keras dengan kepala dingin melihat persoalan ini.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply