Antitesis dan Pelajaran Politik ala Jokowi

Beberapa waktu ini perpolitikan sangat menarik. Fokusnya merendahkan Jokowi selaku presiden ataupun pribadi. Pada sisi lain, mendongkrak nama Anies Baswedan yang akan kehilangan panggung utama karena masa bicaranya, eh kerjanya sudah habis.

Salah satu poin yang paling menarik adalah, pernyataan Anies Baswedan adalah antitesis Jokowi. Apakah yang mengatakan tidak paham, satire, atau kenthir? Yang jelas ia dipecat oleh partainya.   Selain itu juga ada gugatan soal ijazah palsu presiden Joko Widodo, yang kembali muncul. Reaksi dan jawaban Jokowi sangat bagus untuk dicermati.

Kala Nasdem ugal-ugalan deklarasi capres, Jokowi menggaet Ganjar berkendara satu mobil menuju tempat peresmian industri. Apakah biasa presiden dengan gubernur satu kendaraan menuju tempat acara? Tidak biasa. Ada makna politis di sana.

Antitesis, Nasdem seolah frustasi melihat respons publik malah menjadi bumerang. Maka ada kadernya yang menyebut Anies Baswedan adalah antitesis Jokowi. Padahal itu benar, selama ini kan Anies itu memang kebalikan dari Jokowi. Kerja, kerja, dan kerja, bukan hanya kata….kata…. kata tanpa aksi.

Kerusakan Jakarta itu wujud Anies benar-benar antitesis  Jokowi. Pelakunya dipecat dari Nasdem, namun masih bekerja di lembaga negara. Lagi-lagi ini wujud panik.

Jokowi menjawab dengan antitesis Anies Baswedan, mengangkat Heru yang pekerja keras. Usai pelantikan selaku Pjs Gubernur DKI ia menegaskan akan membuka meja aduan yang digagas dan dilaksanakan era Ahok dan ditutup oleh gubernur mantan menteri itu. Slogan kerja kerja kerja juga digunakan Heru.

Mengenai ijazah palsu, sebenarnya hal yang sangat naif jika kudu dibalas atau dijawab Jokowi. Namun demi tahun politik, Jokowi jumpa dengan teman-teman masa sekolahnya. Pasti tidak cukup bagi oposan dan barisan sakit hati. Toh bahasa tubuh santaii, enjoy, dan  tertawa-tawa mau menunjukkan kalau isu murahan itu tidak mengganggunya.

Mana ada sih teman yang dibeli? Perjumpaan itu pasti tidak karena bayaran. Oposan bisa berdalih, ah itu bisa saja akal-akalan. Karena mereka yang teriak-teriak terbiasa membuat aksi, cerita yang hanya ngibul. Lihat soal aksi-aksian mau 212, 411, dan seterusnya. Warna membualnya banyak dan besar.  Massa yang ada pun dibayar untuk datang.

Model demikian, pasti akan dinyatakan sebagai perbuatan pihak lain. Miris, mengaku paling agamis, namun perilakunya selayaknya iblis.

Apa yang Jokowi tampilkan itu adalah kelas politikus tulen, bukan hanya sok molitik namun tidak bisa apa-apa.  Hanya mengejar ketenaran, bahkan dengan cara cemar sekalipun. Masyarakat makin cerdas, ehelitnya malah makin cengoh.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply