BBM Naik, Harga Baju Putih, dan Gaya Hidup Pejabat

Dalam salah satu ulasan Merdeka tahun 2014 Suparto penjahit Jokowi mengatakan, baju putihnya seharga Rp. 125.000,00. Baju lambang kesederhanaan, dan itu bertahan hingga kini, padahal sudah menjadi presiden periode kedua. Bener-bener sederhana bagi ayah Walikota Solo itu.

Bob Sadino menyatakan jam seharga Rp.50.000,00 ataupun Rp. 500.000,00 akan menunjukkan waktu yang sama.  Manfaat, bukan soal gaya hidup. Berbeda dengan kebanyakkan elit negeri ini. Padahal Bob Sadino mampu membeli, karena  pengusaha yang berangkat dari bawah. Penuh perjuangan, bukan warisan.

Hari-hari ini, media sosial sedang ramai membicarakan perihal baju dan jam tangan seorang bintang satu. Baju putih yang ditengarai harganya Rp. 12.000.000,00 dan jam tangan yang dikenakan seharga hampir seperempat milyar. Luar biasa, bandingkan baju Pak Jokowi dan baju bintang satu ini.

Pada waktu bersamaan, pemerintah mengumumkan kenaikan harga BBM. Paradog, di mana gaya hidup mewah pejabatnya yang dibayar dengan uang rakyat berbanding terbalik dengan keprihatinan negeri. Belum lagi jika mengingat negara juga harus bayari kalender, horden, dan dana pensiunan  anggota DPR.

Gaya hidup dan penghargaan masyarakat. Bangsa ini  begitu bangga dengan materi, kekayaan, tampilan yang mewah, namun abai  dari mana asalnya. Mau maling, rampok, koruptor, dan nyolong sekalipun tetap kajen keringan. Ini adalah masalah.

Tidak punya malu. Pejabat dan juga calon pejabat kan harusnya menyesuaikan diri dengan profil atau penghasilannya. Mosok gaji lima jutaan kurang namun memiliki mobil porche, moge yang tiap akhir pekan touring dengan pengusaha? Jelas ini bukan masalah berpikir buruk atau negatif, namun perlu dicermati. Wajar ketika ada pejabat menengah ternyata menyelewengkan barang bukti narkoba.

Feodalisme.  Menjadi pejabat, penguasa, dan birokrat itu minta dilayani. Paradigma kuno yang masih dipegang erat-erat hingga kini oleh sebagian pihak.   Aparat melayani masih jauh dari harapan, malah minta dilayani dan memperkaya diri.

Gaya hidup itu tidak akan pernah  cukup dengan gaji berapapun, ini yang membuka    celah penyelewengan kekuasaan. Apalagi masih terbukanya kehormatan itu atas kekayaan dan materi. Religiusitas label, pendidikan hafalan.

Salam penuh kasih

Susy Haryawan

 

 

Leave a Reply