Ada apa dengan JK?
Ada apa dengan JK?
Beberapa saat ini, JK begitu gencar melakukan “serangan” pada pemerintah. Ia lupa pernah bersama-sama dengan Jokowi dalam pemerintahan. Tanpa perlu menyebut kebersamaan dengan SBY karena tidak ada satupun serbuan itu menyasar SBY. Malah cukup aneh sebenarnya.
Beberapa hal serangan itu adalah,
Tanpa ada angin dan badai mengatakan, jika ekonomi dikuasai sebagian besar etnis China. Vulgar dikatakan, bukan hanya dengan menyebut etnis tertentu misalnya. Jelas memperlihatkan maunya apa. Menggunakan sentimen China di tengah kancah politik yang ia maui.
Menyebut Ahok berbahaya karena mengancam persatuan. Sama sekali tidak ada aksi atau pernyataan dari Ahok secuil pun. Lagi-lagi menggunakan terminologi rasisme, ingat bahwa sebagian publik terutama sebarisan dengan JK itu memang masih memelihara sakit hati sejak sebelum pilkada DKI 2017. Berbeda jika Ahok itu nyomelin sesuatu sebagaimana yang lalu-lalu. Lha sekarang anteng di Pertamina.
JK sangat paham, Ahok bukan model yang berbalas pantun begitu. Tahu persis tidak akan mendapatkan respon, karena jika membalas akan menjadi panggung lagi barisan itu. Ahok tentu paham dengan konsekuensi yang harus ditanggung negara ini. Pengalaman yang mahal harganya dibayar oleh DKI Jakarta.
Mempermasalahkan jalan tol yang berbayar. Aneh dan lucu saja sih. Bagaimana bisa, ketika ia ikut membuat kebijakan, ikut membangun berarti ada uang di sana, juga mengelola lagi-lagi uang diperoleh. Namun mengatakan bahwa itu wujud ketidakadilan.
Perlu diingat juga, bahwa ia itu sekian lama menjadi pemasok kebutuhan Indonesia Timur dengan harga edan-edanan lho. Ke mana keadilan itu? Atau karena tidak lagi bisa seenaknya sendiri kemudian menjadikan itu sebagai ketidakadilan bagi kepentingannya?
Bicara kesenjangan sosial, keadilan, kesetaraan ekonomi, namun ia diam sejuta bahasa ketika ada pembubaran ibadah, apa karena memang sealiran, atau mengapa? Aneh, jika sok Pancasilais namun pada sisi yang lain kog begitu pura-pura tidak dengar.
Keadilan sosial namun ada juga Persatuan Indonesia, ada pula Ketuhanan Yang Maha Esa, aneh saja ketika satunya getol namun sisi lain diem saja seolah-olah baik banget. Hal ini yang perlu publik tahu, bagaimana sikap elit itu.
Sayang bahwa negeri ini masih demikian banyak benalu yang merasa berjasa, bandit demokrasi yang sok demokratis. Masyarakat jauh lebih modern, pinter, dan tahu rekam jejak. Manusia-manusia lama yang dipenuhi kepentingan lupa rekam jejak yang sangat terang seperti saat ini.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan