Anomali Puan-Anies, Mengapa?
Pilpres 24 masih cukup lama, dua tahun. Ada yang menarik, karena begitu panas persaingan antarkandidat. Pun partai politik dalam dukung mendukung. Mau partai gede ataupun kecil setali tiga uang. Manuver, pendekatan, membranding, menciptakan situasi agar menjadi pembicaraan, itu fokus mereka.
Lembaga survei juga sudah mulai mengadakan dan merilis hasil penelitian mereka. Satu demi satu melaporkan dan menempatkan para tokoh yang memang sudah gembar-gembor mau nyalon, ataupun yang masih bingung mau apa.
Partai sudah pula ke sana ke mari menjalin komunikasi pada partai lain atau tokoh yang dianggap potensial untuk menjadi calon ataupun bahkan menjadi presiden dan wakil presiden periode mendatang. Saling sengkarut mendukung ini, besok mengunjungi pihak lain dengan sanjungan yang senada.
Puan ini kader dan bahkan “pemilik” partai banteng. Partai ini belum menyebut dengan lugas siapa yang mau diajukan sebagai calon. Apalagi deklarasi. Hanya berdasar asumsi dan analisis yang bisa benar, dapat pula keliru.
Partai-partai oposan selama ini, terutama PKS malah sangat getol untuk Puan maju sebagai kandidat dari PDI-Perjuangan. Mereka lebih semangat, seolah ngomporin kader-kader loyalis Puan. Ada apa?
Sekaligus mereka juga maunya mengajukan Anies Baswedan, namun sama saja, mereka ini, tidak berani deklarasi atau minimal memastikan akan membawa Gubernur DKI Jakarta ini menjadi jagoannya. Mengapa demikian?
Pertama. Mereka mau menjerumuskan Puan dan PDI-Perjuangan untuk kepedean bahwa mereka akan maju sendiri. Dengan demikian akan mudah dikalahkan calon yang mereka usung. Cukup naif sih jika demikian.
Kedua, PDI-P bukan partai kemarin sore yang mudah baperan, meskipun banyak sih yang kurang isa rumangsa, lebih cenderung rumangsa isa. Ini yang perlu diwaspadai oleh kader dan masyarakat yang berpikir bagi bangsa dan negara.
Ketiga, mereka, yang menyorong-nyorongkan Puan, terutama yang oposan ini maunya Anies Baswedan sebagai kandidat utama. Toh tidak berani deklarasi atau mengatakan dukungannya secara lugas. Mengapa? Mereka masih berhitung mengenai kursi dan PT, kebanyakan mereka partai yang memang perlu bertiga minimal. Satu saja mangkir, bubar dan malah akan menjadi penonton.
Keempat, mereka juga paham kinerjanya di Jakarta itu buruk dan potensial kena masalah hukum. Menjaga jarak dan wait and see sangat penting bagi mereka. Kalau ada apa-apa dengan penegak hukum mereka bisa enda dan pura-pura tidak kenal.
Pun saat aman-aman saja dari kejaran penegak hukum mereka akan merepat untuk menjadikan calon, syarat sudah ada komitmen kuat dengan partai-partai gurem lainnya.
Kelima, semua partai masih takut menentukan pilihan, namun juga khawatir ketinggalan kereta. Jadinya malah naif dan lucu. Ada-ada saja tingkahnya yang kek ABG ketemu yang ditaksir.
Salam penuh kasih
Susy Haryawan