Belajar Korupsi dari Lili Pintauli dan Brotoseno
Lagi dan lagi dunia perkorupsian Indonesia dibuat tercengang dengan perilaku dua penegak hukum ini. Pertama pimpinan KPK Lili Pintauli yang diperiksa dewan pengawas karena adanya pelaporan mendapatkan tiket dan akomodasi untuk menonton gelaran moto GP di Mandalika, Lombok, beberapa waktu lalu.
Miris bukan, ketika pimpinan KPK saja dengan mudah jatuh pada perilaku korup yang sangat mendasar. Ini justru yang perlu mendapatkan perhatian bagi para penyelenggara negara. Tidak hanya maling anggaran dan mark up nilai belanja saja, namun juga bertemu dengan pihak yang berpekara dan juga mendapatkan sesuatu dari penyelenggara negara.
Kisah sedikit berbeda, namun itu identik, kala polisi Brotoseno dipidana penjara karena korupsi, tanpa dipecat. Pertanyaan publik direspon dengan resmi oleh polisi, karena ia berprestasi. Ini menjadi aneh, bayangkan saja, jika orang itu cantik atau tampan, atau badannya seksi atau gagah, namun ada panu di pipinya, masihkah akan menang dalam perlombaan abang atau none begitu?
Korupsi atau maling itu kejahatan luar biasa. Apalagi prestasinya tidak disebutkan, yang membuat si polisi tidak dipecat. Asumsi publik sangat mudah menuding perlindungan atasan dan korp sehingga tidak dipecat. Bagi-bagi dan mengamankan lembaga dan kawan serta pimpinan dengan mengorbankan Brotoseno sangat mungkin.
Apa yang terjadi justru mempermalukan dan merusak citra corp dan lembaga. Korupsi itu didengung-dengungkan sebagai kejahatan luar biasa, namun hukumannya malah sangat biasa, bahkan bisa jadi ada deal-deal tertentu. Lihat saja hukumannya selalu ringan, tidak serius, dan banyak potongan ini dan itu.
Efek jera. Penengak hukum di bidang korupsi harusnya dua atau tiga kali lipat, apa yang tersaji malah da hak khusus, karrena itu tadi, dugaan bahwa ada sesuatu di lingkaran yang mau menutupi borok mereka. Jika terus-terusan demikian, tidak akan pernah selesai dengan keadaan ini.
Pengulangan, lihat saja berapa pelaku korupsi yang dihukum dengan ringan kemudian mengulangi lagi dan lagi. Sama dengan Lili juga demikian. Bagaimana bisa bersih ketika penegak hukumnya saja parah seperti itu.
Pembiaran. Selai hukuman rendah, apa yang terjadi itu karena adanya pembiaran. Pembiaran karena kesamaan ideologi dan perjuangan, adanya solidaritas koplak, dan juga karena sama-sama maling. Ini sudah menjadi karakter, bahkan sudah mengarah menjadi budaya. Seolah biasa saja.
Penddikan atau pelajaran antikorupsi itu hanya omong kosong, keteladanan, sikap dan perilaku yang memberi contoh malah lebih banyak yang maling dari pada yang baik. Pemuka agama saja setali tiga uang, sama-sama tamak dan rakus.
Niat baik belum ada. Sering mengatasnamakan kemiskinan, kalau kaya tidak akan maling. Perwira, komisioner KPK itu kurang apa lagi? Kurang ajar dan tamak yang ada.
Salam Penuh Kasih
Susy Haryawan