Darurat Kekerasan Seksual dan Penegakkan Hukum

Hari-hari ini, sedang panasnya pembicaraan mengenai penegakkan hukum yang sulit dilakukan, khususnya di Jawa Timur. Ada dua kisah gede, satunya disorot media dengan masif, satunya tanpa ada atensi sama sekali dari media arus utama.

Kasus pertama, anak seorang kyai, pengasuh pondok pesantren, yang lama menjadi DPO, di depan mata polisi lolos lagi. Sang bapak bersikukuh itu adalah fitnah, dan meminta polisi menghentikan saja upaya menangkap dan proses hukum puteranya.

Sebuah media menuliskan, Polisi gagal lagi, Si DPO aman di ketiak bapaknya.  Sarkas dan selugas itu judul media arus utama. Berseri pemberitaan dengan  menulis, inilah rupa si bla..bla…DPO kekerasan seksual. Lagi-lagi gamblang, tanpa ada blur dan garis hitam.

Padahal jauh lebih elok, bijak, dan tentu arif, ketika pengadilan, hakimlah yang memutuskan itu benar tindak pidana atau benar semata fitnah. Mosok, santri berani memfitnah anak kyai, dan keberadaan kyai itu tidak sekadar guru, namun juga bapak, sesepuh.

Mempermalukan si kyai juga sebagai seorang teladan dengan sikap ini. Malah menjadi bahan caci maki dan hinaan, padahal sudah sepuh, tentu juga panutan selama ini. Sayang pilihannya demikian, tidak heran, ketika netizen mengomentari, bagaimana mendidik anak orang, ketika mendidik anak sendiri saja gagal.

DPO ini bukan anak-anak, sudah kepala empat, jadi sebenarnya malah mempermalukan si bapak. Biar saja dijalani sendiri proses hukum itu.

Kasus kedua. Sekolah, SMA Selamat Pagi Indonesia   Batu, ada dugaan kekerasan seksual dan eksploitasi anak. Persidangan terjadi keanehan dan kejanggalan. Para korban seolah sendirian menghadapi hakim, pengacara tersangka, dan juga  perjuangan nasibnya yang sangat tidak mudah.

Kawan-kawannya banyak yang menyerah. Ada pula yang berbalik arah dan menjadi perongrong kekuatan mereka dalam menghadapi tembok besar itu.

Media, ormas, LSM, dan pihak-pihak yang biasanya begitu kencang menyuarakan berbagai kejadian, kog diam saja. Berbeda dengan kasus pertama di atas. Mengapa?

Penegakkan hukum itu susah, apalagi ketika masih begitu kuat tekanan publik itu memberikan pengaruh. Kasus pertama, polisi kewalahan karena selalu diadang massa. Kebenaran menjadi milik kekuatan, bukan yang sebenarnya. Penegak hukum takut dengan massa, label agama, dan juga sosok, bukan perbuatan salah dan benarnya.

Apa bedanya dengan hukum rimba jika demikian. Siapa kuat akan menang dengan segala cara.

Salam Penuh Kasih

Susy Haryawan

Leave a Reply